Jl. Rs. Fatmawati, Pondok Labu – South Jakarta

fpciupnvj@upnvj.ac.id

@fpciupnvj

Humanitarian Law in the Age of Drones: Menimbang Kekuatan, Etika, dan Kemanusiaan di Medan Perang Modern

Ditulis oleh Arie Petra Levy

Dewasa ini, di tengah masifnya arus perkembangan dunia teknologi dan ilmu pengetahuan, telah membawa umat manusia pada lembaran baru, di mana dunia sudah tidak lagi dapat terpisah dengan dunia digital. Hal ini juga turut membawa manusia memasuki sebuah lanskap baru dari peperangan modern, di mana dengan hadirnya teknologi tingkat tinggi dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah menghasilkan beragam alutsista canggih seperti misil dan rudal berpandu hingga kendaraan nirawak (unmanned vehicle) seperti drone. Pemanfaatan drone di dalam konflik saat ini sudah sangat lumrah dilakukan oleh negara-negara di dunia, terutama dalam konflik bersenjata di Timur Tengah serta dalam perang Rusia-Ukraina. Fenomena ini seakan membuka kotak pandora bagi umat manusia dan menunjukkan dua sisi dari sebuah inovasi teknologi militer, dengan satu sisi menunjukkan betapa pesatnya kemajuan teknologi nirawak, sementara itu pada sisi lain juga mempertontonkan betapa lemahnya perlindungan terhadap nyawa dan martabat manusia, baik bagi warga sipil maupun para kombatan. Hukum Humaniter Internasional saat ini terbentuk saat era perang konvensional dan kini sedang menghadapi persimpangan krusial, terutama pada prinsip distinction dan proportionality, apakah masih tetap relevan atau tidak, terutama di era perang yang dikendalikan melalui kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan dioperasikan dari jarak jauh. Realita inilah yang membawa pada pertanyaan krusial terkait dilema antara efisiensi strategis di medan perang dengan nilai kemanusiaan.

Kehadiran drone dalam operasi militer, khususnya medan peperangan, telah menimbulkan distorsi, di mana di masa lalu medan pertempuran adalah tempat tentara melawan tentara. Namun, dengan hadirnya drone, kerap kali pertempuran yang terjadi adalah mesin melawan manusia, di mana drone ini kerap kali dioperasikan dari balik layar dengan jarak ratusan bahkan ribuan kilometer jauhnya. Kemampuan operasional dari jarak jauh ini memiliki manfaat dan keunggulan tersendiri karena negara dapat meminimalisir kerugian dan korban jiwa dalam suatu operasi militer. Namun, keunggulan ini juga membawa kelemahan tersendiri. Dengan drone yang dioperasikan dari jarak yang begitu jauh, kerap kali keputusan krusial seperti momen antara hidup dan mati kehilangan sense of human emotions, di mana emosi ini memiliki peran penting bagi manusia untuk melakukan evaluasi dan pertimbangan moral, empati, dan penahanan diri (Wilson, 2025). Tanpa adanya sense of human emotions di medan pertempuran akibat dari masifnya penggunaan drone untuk keperluan ofensif, tidak dapat dipastikan apakah operator drone di medan pertempuran sudah melewati tahapan evaluasi dan pertimbangan moral sebelum melaksanakan serangan. Sebagai contoh, footage atau potongan video dari penggunaan drone di konflik Rusia-Ukraina telah menunjukkan kita bagaimana sense of human emotions semakin tergerus akibat dari operator drone yang tidak betul-betul ada di medan perang. Sehingga, tidak jarang footage yang ada menunjukkan detik-detik terakhir tentara musuh di momen hidup dan mati, yang sudah pasrah bahkan tidak lagi berupaya untuk lari di saat drone tipe kamikaze atau drone bunuh diri menghampiri mereka. Fenomena ini bertentangan dengan norma dan doktrin etika militer, terutama dalam Just War Theory yang mengandung prinsip Jus ad bellum, Jus in bello, dan Jus post bellum, yang mana prinsip-prinsip ini sangat memegang teguh aspek etik, moral, keadilan, dan justifikasi yang jelas dalam perang. Namun, tampaknya kehadiran drone-drone di medan tempur dapat berpotensi menggerus nilai-nilai ini. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwasanya kehadiran drone warfare sebagai bagian dari pertempuran modern telah menyebabkan distorsi paradigma perang, yang awalnya didominasi oleh persenjataan konvensional menuju pemanfaatan LAWS (Lethal Autonomous Weapon Systems) seperti drone yang memberikan dampak strategis namun menyimpan ancaman antara batas etika dan perlindungan manusia.

Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah awal perkembangan drone di era modern. Sehingga, untuk memahami dilema moral dan hukum yang ada akibat dari implikasi penggunaan drone di medan perang, maka dari itu akan sangat penting untuk memahami evolusi dan perkembangan dari drone itu sendiri. Pada awal perkembangannya, drone dimanfaatkan oleh militer dengan tujuan non-ofensif, seperti de Havilland DH82B “Queen Bee,” salah satu pesawat nirawak pertama di dunia yang dikembangkan oleh Inggris di tahun 1930-an. Queen Bee sendiri dikembangkan untuk keperluan latihan pasukan sebagai target udara, sebelum dikembangkannya Queen Bee target udara untuk latihan menembak menggunakan pesawat yang diawaki oleh pilot, sehingga dalam proses latihan dapat membahayakan nyawa dari pilot itu sendiri (O’Malley, 2025). Orientasi pengembangan drone sebagai alat bantu operasi militer non-ofensif dan bertujuan menyelamatkan nyawa pasukan juga terus berlanjut hingga dekade 60-an, di mana Amerika Serikat mengembangkan Ryan Model 147. Drone ini memiliki fungsi pengintaian di area berbahaya sehingga dapat membantu mengurangi potensi kehilangan pilot saat melakukan misi spionase udara (Patil, 2022). Barulah memasuki era Perang Teluk di tahun 1990-an terjadi pergeseran peran yang radikal dari penggunaan drone di dunia militer, yang berawal dari target di dalam latihan serta untuk mendukung operasi pengintaian menuju operasi ofensif, di mana AS melihat potensi dari perkembangan drone ini sebagai sebuah sistem dengan kemampuan precision striking. Hal ini ditandai oleh pengembangan drone MQ-1 Predator yang menandakan babak baru drone dalam operasi militer (Patil, 2022). Sehingga dapat dipahami bahwa pada awalnya pengembangan dari teknologi ini dirancang sebagai upaya mengurangi korban jiwa di medan perang. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, justru tujuan awal itu mengalami distorsi yang membuat drone menjadi instrumen dominasi strategis yang berpotensi menggeser nilai kemanusiaan dari posisi utama.

Tren penggunaan drone di dalam tubuh militer tampaknya akan tetap bertumbuh selama beberapa dekade ke depan. Menurut laporan dari Data Bridge Market Research di tahun 2024, besaran global military drones market akan mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2024–2032, di mana Data Bridge Market Research memperkirakan akan ada pertumbuhan pangsa pasar untuk drone militer sebesar 14,3% pertumbuhan rata-rata per tahun selama 8 tahun ke depan, bertumbuh dari angka $15.59 miliar di tahun 2024 hingga di angka $45.41 miliar pada tahun 2032 nanti.

Gambar 1. Diagram Pertumbuhan Global Military Drones Market 2024-2032. Sumber Data Bridge Market Research

Dalam laporannya, Data Bridge Market Research menjelaskan bahwa pertumbuhan penggunaan drone ini tidak eksklusif di negara-negara Barat, tetapi juga serentak mengalami peningkatan di wilayah Asia dan Afrika. Ini dapat menjadi indikator bahwa konflik masa depan akan semakin didominasi oleh kehadiran drone-drone di frontline area konflik. Hal ini cukup linear dengan laporan yang dipublikasikan oleh European Parliament di tahun 2025. Dalam briefing-nya dilaporkan bahwa selama perang Rusia-Ukraina, Ukraina telah berupaya melakukan produksi drone untuk keperluan militer sebanyak 1 juta unit, bahkan mengalami peningkatan target menjadi 4 juta unit. Di sisi lain, Rusia sepanjang perang juga berupaya mengejar angka produksi yang serupa, di mana Rusia dilaporkan telah mengoperasikan lebih dari 100 jenis atau tipe drone, mulai dari drone ukuran kecil hingga berukuran sekitar 20 meter, baik untuk keperluan komunikasi, pengintaian, hingga operasi ofensif. Masifnya penggunaan drone di perang Rusia-Ukraina juga dapat dilihat berdasarkan laporan yang menyatakan bahwa 80% korban dalam perang Rusia-Ukraina merupakan buah hasil dari penggunaan drone di sepanjang peperangan, dengan angka estimasi 1.000 korban kombatan per harinya (Thomas, 2025). Tentu, angka ini dapat jauh lebih besar jika ditambahkan korban masyarakat sipil di kedua belah pihak akibat dari serangan drone terhadap fasilitas dan pusat-pusat kota. Serangan drone Rusia terhadap kota Kherson merupakan salah satu contohnya. Serangan ini bahkan telah disimpulkan oleh Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) sebagai tindakan kejahatan perang, di mana dalam laporan OHCHR terdapat hampir 150 masyarakat sipil menjadi korban jiwa dalam serangan drone ini, dan ratusan lainnya mengalami luka-luka (OHCHR, 2025). Pihak Ukraina pun tak luput dari penggunaan drone yang mencederai prinsip-prinsip human dignity dalam perang Rusia-Ukraina. Di media sosial, terkhususnya akun-akun OSINT yang berkonsentrasi pada perang Rusia-Ukraina, cukup banyak ditemui footage dari drone kamikaze Ukraina yang melakukan penyerangan terhadap pasukan Rusia yang sebetulnya sudah dalam kondisi hors de combat, yaitu situasi di mana kombatan sudah dalam kondisi terluka, tidak sadarkan diri, dan menunjukkan tanda-tanda ingin menyerah (ICRC, 1977). Penggunaan drone, terkhususnya drone kamikaze, juga sangat rentan melanggar Additional Protocol I Geneva Conventions Article 35, yang mengatur terkait larangan akan penderitaan yang berlebihan atau penderitaan yang tak perlu dari persenjataan. Permasalahan dari penggunaan drone sebagai alat ofensif adalah, kerap kali dampak yang ditimbulkan sangat destruktif, bahkan menyebabkan kematian yang menyakitkan. Tidak semua jenis drone dilengkapi dengan explosive warheads yang besar, sehingga tidak sedikit korban, baik kombatan ataupun sipil, akan mengalami kematian yang menyakitkan, seperti luka bakar, amputasi, hingga kerusakan jaringan akibat dari serpihan ledakan. Tipe luka seperti ini tentu berimplikasi pada penderitaan yang berlebihan kepada korbannya.

Temuan ini juga dipertegas dengan korban-korban dari senjata drone di Gaza, di mana kota Gaza telah menjadi salah satu medan tempur urban paling dahsyat di abad ini. Dampak konflik antara Israel-Palestina di Gaza sangatlah destruktif dan kerap kali menimbulkan korban jiwa maupun korban luka-luka pada masyarakat sipil di Gaza. Sepanjang tahun 2014–2016, dari sebanyak 254 korban serangan drone di Gaza, 54% dari korban ini harus mengalami operasi amputasi (Lossius et al., 2019). Hal serupa juga kembali terjadi pada tahun 2024, saat Israel melakukan serangan drone dan menimbulkan korban jiwa dari masyarakat sipil sebanyak 40 orang di kota Gaza (Aljazeera, 2024). Realita ini telah menunjukkan kengerian yang dahsyat dari penggunaan drone di konflik tersebut sekaligus menunjukkan pelanggaran prinsip distinction dalam Hukum Humaniter Internasional, karena Israel gagal membedakan target sipil dengan kombatan dalam penggunaan drone. Pemberlakuan hukuman juga sulit untuk dilakukan karena adanya accountability gap, sebab pelanggaran Hukum Humaniter ini tidak jelas siapa pelaku langsungnya akibat dari drone yang dioperasikan jarak jauh atau bahkan terkadang dengan sistem otonom. Hal ini menyebabkan sulitnya menentukan siapa yang dapat bertanggung jawab secara hukum. Selain pelanggaran yang dilakukan oleh Ukraina, Rusia, dan Israel dalam pengoperasian drone di medan tempur atau konflik, sebetulnya masih banyak pihak lain yang melakukan hal serupa, seperti Hamas yang mulai memanfaatkan drone dalam serangan 7 Oktober 2023 terhadap Israel (Page, 2025), bersama dengan Hezbollah yang menggunakan drone kamikaze dalam melancarkan serangan ke Israel sepanjang Oktober 2023 (Frantzman, 2024). Juga pelanggaran hukum dari penggunaan drone oleh Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang banyak melakukan operasi militer di kawasan Timur Tengah. Bahkan sepanjang periode 2009–2019, AS telah melancarkan serangan drone sebanyak 594 kali di berbagai negara di sekitar Timur Tengah seperti Yaman, Pakistan, dan Somalia, dengan persentase korban sipil sebesar 15,47% atau sekitar 804 warga sipil yang menjadi korban jiwa selama serangan drone AS sepanjang satu dekade operasi militer (Grossman, 2019). Data-data ini sebetulnya masih sebagian kecil dari potensi bahaya penggunaan drone bagi keamanan dan dignity manusia di area tempur atau konflik. Terlebih saat ini, dengan kemajuan teknologi drone, drone tidak lagi eksklusif bisa dimiliki oleh negara maupun kelompok paramiliter sebagai proxy negara. Kelompok teroris, bahkan kelompok kriminal, bukan tidak mungkin akan mampu memanfaatkan drone sebagai alat melakukan tindakan kriminalnya. Sehingga, hal ini semakin menegaskan urgensi pengaturan hukum internasional yang jelas akan penggunaan drone guna melindungi keamanan manusia atau human security dan menjamin esensi universal dari human rights, yaitu hak untuk hidup.

Selain dampak fisik seperti yang sudah dijelaskan di atas, penggunaan drone di medan tempur juga meninggalkan dampak psikis yang signifikan. Dampak psikis dari drone ini juga turut mempertegas bagaimana drone menimbulkan penderitaan yang berlebihan dan tidak perlu, sebagaimana tercantum dalam Additional Protocol I Geneva Conventions Article 35. Bagi para korban atau masyarakat sipil, drone memberikan dampak psikis yang beragam, baik itu kecemasan, rasa takut, hingga trauma jangka panjang (Hijazi et al., 2017). Bahkan beberapa temuan seperti penelitian dengan judul “Cry in the Sky: Psychological Impact on Drone Operators” karya Saini et al. di tahun 2021, menyatakan bahwa dampak psikis dari penggunaan drone juga dapat dialami oleh operator drone itu sendiri, seperti emotional burnout, stres, hingga dilema moral selama masa dinasnya. Sejalan dengan temuan Saini, Hijazi et al. juga menjelaskan bagaimana dampak psikis seperti PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), existential conflict, bahkan rasa bersalah dan penyesalan menjadi permasalahan psikis yang kerap dialami oleh operator drone akibat dari menyaksikan bagaimana drone yang mereka operasikan memberikan dampak destruktif dan mampu membunuh target selama masa dinas. Sebetulnya ini cukup ironis, di mana drone yang selama ini diidentikkan sebagai simbol dari kemajuan teknologi serta peradaban manusia, di saat yang bersamaan juga menjadi simbol penghancur nilai moral, hak asasi, termasuk kesehatan psikis yang selama ini identik dan melekat pada masyarakat modern.

Melihat realita ini, Hukum Humaniter Internasional atau International Humanitarian Law pada dasarnya tercipta sebagai upaya penyeimbang antara kebutuhan militer dengan perlindungan kemanusiaan di masa perang atau konflik. Prinsip dasar dari Hukum Humaniter Internasional bukanlah melarang adanya perang, tetapi lebih kepada bagaimana membatasi cara, strategi, dan alat peperangan agar tidak mencederai kemanusiaan dan menimbulkan penderitaan yang berlebihan. Dalam konteks bahasan ini, keberadaan drone di era perang modern menimbulkan pertanyaan terkait sejauh mana hukum ini masih relevan dan berfungsi di tengah bentuk dan gaya perang yang less human, more machine. Gaya perang ini menggerus unsur sense of human emotions yang berakibat pada besarnya potensi pelanggaran terhadap norma dan etika perang seperti Pasal 35 dan Pasal 41 Protocol I Konvensi Jenewa 1977, serta prinsip distinction dan proportionality.

Gambar 2. Tabel Analisis Prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional Terhadap Realita Operasional Drone di Medan Perang atau Konflik.

Selain menggunakan kerangka hukum, penggunaan drone juga dapat dianalisis melalui Just War Theory yang menjelaskan bahwa perang hanya sah jika memenuhi dua kategori atau tahapan yang krusial, yaitu jus ad bellum (hak atau keabsahan memulai perang) dan jus in bello (perilaku dan etika dalam menjalankan perang) (Guthrie & Quinland, 2007). Di mana dalam realita lapangan, penggunaan drone di medan perang atau konflik kerap kali melanggar esensi substansial dari jus in bello. Kerap kali, penggunaan drone justru menggerus prinsip etika, moral, empati, keadilan, dan martabat dalam peperangan. Dapat dilihat bagaimana penggunaan drone kamikaze dalam perang Rusia-Ukraina, akibat dari drone yang dioperasikan dari jarak jauh tanpa kontak visual langsung dengan target, aspek sense of human emotions dari operator menjadi tergerus, sehingga berimplikasi pada menurunnya batas-batas moral yang selama ini menjadi fondasi dasar dari legitimasi perang. Dari footage yang ada, justru terdapat rekaman yang seakan operator “memainkan” nyawa dari target dengan sengaja mengejar target meskipun sudah terluka atau bahkan menunjukkan tanda-tanda sudah tidak ingin berperang.

Memang betul, hadirnya drone sebagai sebuah alutsista menimbulkan dampak strategis dan mampu menekan risiko korban jiwa dari pihak penyerang sekaligus meningkatkan daya serang dalam operasi militer. Namun, apakah unsur strategis setimpal harganya jika harus mengorbankan aspek empati dan emosi? Jika demikian, maka perang yang ada di masa depan tidak lagi memperhatikan aspek moral sesuai dengan prinsip jus in bello, tetapi sudah menjadi sebuah langkah kalkulasi yang mengenyampingkan moralitas demi keuntungan strategis semata. Berdasarkan realita ini, baik melalui analisis menggunakan kerangka Hukum Humaniter Internasional maupun Just War Theory, penggunaan drone di medan tempur telah berimplikasi pada distorsi makna dan esensi dalam etika perang. Hal ini sekaligus menunjukkan paradoks ironis antara pesatnya perkembangan teknologi yang sekaligus mengancam dignity manusia serta hak humaniternya, yang seharusnya menjadi ciri bagi peradaban maju. Maka dari itu, negara-negara di dunia harus bertindak cepat dalam merumuskan norma dan hukum internasional yang jelas dan komprehensif dalam mengatur penggunaan drone di medan perang demi menghindari kejahatan perang dan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional.

REFERENCES

Wilson, J, L,D. (2025). AI, war and (in)humanity: the role of human emotions in military decision-making. Humanitarian Law & Policy Blog. https://blogs.icrc.org/law-and-policy/2025/02/20/ai-war-and-in-humanity-the-role-of-human-emotions-in-military-decision-making/

O’Malley, D. (2021). THE MOTHER OF ALL DRONES — Vintage Wings of Canada. Vintage Wings of Canada. https://www.vintagewings.ca/stories/mother-of-all-drones

Patil, K. (2022). Drone warfare: history, evolution and future. J Def Stud, 16(4), 243-51.

Data Bridge Market Research. (2024). Global Military Drones Market Report – Product page. Data Bridge Market Research, https://www.databridgemarketresearch.com, All Right Reserved 2025. https://www.databridgemarketresearch.com/reports/global-military-drones-market

European Parliamentary Research Service. (2025). Military drone systems in the EU and global context: Types, capabilities and regulatory frameworks [Report]. https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/BRIE/2025/772885/EPRS_BRI(2025)772885_EN.pdf

Thomas, R. (2025). Drones now account for 80% of casualties in Ukraine-Russia war. Army Technology. https://www.army-technology.com/news/drones-now-account-for-80-of-casualties-in-ukraine-russia-war/

OHCHR. (2025). UN Commission concludes that Russian armed forces’ drone attacks against civilians in Kherson Province amount to crimes against humanity of murder. [Press Release]. https://www.ohchr.org/en/press-releases/2025/05/un-commission-concludes-russian-armed-forces-drone-attacks-against-civilians

International Committee of the Red Cross (ICRC). (1977). Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), of 8 June 1977. Retrieved from https://ihl-databases.icrc.org/en/ihl-treaties/api-1977/article-41

Heszlein-Lossius, H., Al-Borno, Y., Shaqqoura, S., Skaik, N., Giil, L. M., & Gilbert, M. F. (2019). Traumatic amputations caused by drone attacks in the local population in Gaza: a retrospective cross-sectional study. The Lancet. Planetary health, 3(1), e40–e47. https://doi.org/10.1016/S2542-5196(18)30265-1

Jazeera, A. (2024, November 12). At least 40 killed in Gaza as Israeli drone attacks ‘safe zone’ café. Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2024/11/11/at-least-30-palestinians-killed-in-gaza-as-israeli-tanks-enter-nuseirat

Page, J. M. (2025). Drones and the Hamas-led Attack of 7 October 2023: Innovation and Implications. Perspectives on Terrorism, 19(1), 1–33. https://www.jstor.org/stable/27372135

Frantzman, Seth J, (2024). What types of deadly drones is Hezbollah using against Israel?. Foundation for Defense of Democracies. https://www.fdd.org/analysis/op_eds/2024/10/14/what-types-of-deadly-drones-is-hezbollah-using-against-israel/

Grossman, N. (2019). Trump cancels drone strike Civilian casualty report: Does it matter? War on the Rocks. https://warontherocks.com/2019/04/trump-cancels-drone-strike-civilian-casualty-report-does-it-matter/

Hijazi, A., Ferguson, C. J., Ferraro, F. R., Hall, H., Hovee, M., & Wilcox, S. (2017). Psychological dimensions of drone warfare. Current Psychology, 38(5), 1285–1296. https://doi.org/10.1007/s12144-017-9684-7

Saini, R. K., V K Raju, M. S., & Chail, A. (2021). Cry in the sky: Psychological impact on drone operators. Industrial psychiatry journal, 30(Suppl 1), S15–S19. https://doi.org/10.4103/0972-6748.328782

Guthrie, C., & Quinlan, M. (2007). Just war: the just war tradition: ethics in modern warfare. Bloomsbury Publishing USA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More Articles & Posts