Jl. Rs. Fatmawati, Pondok Labu – South Jakarta

fpciupnvj@upnvj.ac.id

@fpciupnvj

Demon Slayer: Anime sebagai Instrumen Soft Power Jepang di Era Modern

Ditulis oleh Aulia Rasel Widodo dan Nabilah Rizky Amaliah

Pada era globalisasi ini, hubungan antarnegara telah mengalami perkembangan yang signifikan. Dalam tiga dekade terakhir, ruang lingkup hubungan internasional telah meningkat pesat dalam setiap bidang, mulai dari bidang ekonomi, keamanan, hingga budaya (Pratama & Puspitasari, 2020). Hal tersebut tak lepas dari adanya perkembangan komunikasi global yang memunculkan berbagai isu kontemporer dalam hubungan internasional yang harus dihadapi setiap negara, sehingga masing-masing negara harus bisa untuk mencari cara yang lebih fleksibel agar tetap relevan dalam menjalankan perannya di dunia internasional pada era modern ini. Salah satu konsep penting dalam konteks ini adalah soft power yang diperkenalkan oleh Joseph S. Nye. Salah satu contoh nyata dari penerapan soft power dapat dilihat pada Jepang yang memanfaatkan budaya populer yang dimiliki negaranya, seperti anime, sebagai instrumen diplomasi publiknya. Melalui penayangan anime di berbagai negara, Jepang berhasil membentuk citra positif, meningkatkan daya tarik budayanya, dan memperluas pengaruhnya tanpa harus melakukan cara-cara tradisional, seperti menggunakan kekuatan militer atau tekanan ekonomi. Strategi diplomasi publik Jepang ini menunjukkan bagaimana soft power mampu menjadi alat yang efektif dalam menjaga relevansi suatu negara di tengah dinamika hubungan internasional pada era globalisasi.

Awalnya, anime hanya direncanakan untuk pasar Jepang sendiri. Pada tahun 1960-an, popularitas anime melonjak secara domestik di Jepang berkat karya Osamu Tezuka melalui studio Mushi Production dengan serial anime legendarisnya, yaitu Astro Boy. Lalu, sejak saat itu, mengikuti popularitas pendahulunya, muncul berbagai studio besar, seperti Toei Animation, Madhouse, hingga Studio Ghibli. Studio-studio anime popular tersebut semakin memperkuat pamor industri anime Jepang. Ditambah lagi, memasuki era modern ini, perkembangan teknologi digital membuat anime menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat di seluruh dunia melalui platform streaming global, seperti Netflix dan Disney+, membuat penayangan anime merambah ke berbagai negara dan meraih popularitas, termasuk di Indonesia. Salah satu contoh paling menonjol akhir-akhir ini adalah fenomena Demon Slayer yang memecahkan rekor box office Jepang dan menjadi bahan perbincangan global. 

Strategi soft power Jepang dalam memanfaatkan anime sebagai alat dalam berdiplomasi bermula pada tahun 1980-an. Pada masa itu, anime seperti Mobile Suit Gundam, Doraemon, dan Dragon Ball mulai menembus pasar internasional, yang mana dengan meningkatnya popularitas serial anime-anime tersebut, pemerintah Jepang mulai menyadari bahwa serial anime bukan hanya sekadar tontonan hiburan domestik, melainkan merupakan salah satu media yang memiliki potensi dalam memperkenalkan budaya, nilai, dan gaya kehidupan di Jepang kepada dunia internasional. Hal ini turut disebabkan oleh meningkatnya minat generasi muda pada konsep budaya populer sehingga pemanfaatan anime sebagai soft power menjadi sangat efektif. Akibatnya, pada tahun 2010, pemerintah Jepang menetapkan kebijakan Cool Japan Strategy, yakni program resmi dari pemerintah yang secara resmi mendukung pemanfaatan anime, manga, fashion, hingga kuliner sebagai alat dalam berdiplomasi. Kemudian, Pada tahun 2002, pemerintah Jepang mengeluarkan Undang-Undang Kekayaan Intelektual. Di tahun 2004, pemerintah Jepang kembali mengeluarkan Undang-Undang yang mempromosikan industri kreatif yang mencakup serial anime, manga, film, acara televisi, hingga video game. Di tahun ini pula lah Jepang secara resmi menjadikan anime dan manga sebagai instrumen sekaligus pintu masuk mereka dalam menggerakkan diplomasi budaya. Selanjutnya, pada tahun 2013, didirikanlah Cool Japan Fund, yakni ladang dana investasi publik-swasta yang bertujuan untuk mendukung ekspansi global budaya Jepang, termasuk anime melalui promosi internasional. Adanya kebijakan-kebijakan tersebut menjadikan anime sebagai bentuk instrumen diplomasi budaya, yang mana hal ini memperkuat citra Jepang di mata global melalui pendekatan non-koersif yang sejalur dengan konsep soft power menurut Joseph Nye.

Di era modern ini, anime telah berkembang menjadi salah satu instrumen diplomasi budaya yang bersifat adaptif terhadap digitalisasi dan globalisasi. Platform internet, media sosial, hingga komunitas pecinta anime turut serta dalam memperluas jangkauan popularitas suatu anime, seperti Demon Slayer. Beberapa waktu terakhir, industri perfilman dihebohkan dengan penayangan film layar lebar Demon Slayer yang merupakan salah satu serial anime populer yang digemari oleh berbagai kalangan, khususnya bagi generasi muda. Kesuksesan serial hingga movie Demon Slayer dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan bagaimana anime dapat berperan sebagai instrumen soft power yang paling efektif bagi pemerintah Jepang. Rekor pendapatan industri anime pada tahun 2020 selama masa pandemi berlangsung menunjukkan bahwa penerapan strategi pemasaran yang tepat dapat mendukung transformasi sebuah karya menjadi instrumen budaya dengan pengaruh global. Strategi marketing Demon Slayer turut menjadikan anime tersebut sebagai salah satu instrumen diplomasi budaya yang berdampak positif bagi perekonomian Jepang. Di tahun 2019, penjualan seri manga Demon Slayer berhasil melampaui serial One Piece yang diketahui telah mendominasi penjualan seri manga selama satu dekade. Keberhasilan serial anime Demon Slayer turut berlanjut pada tahun 2020, khususnya ketika film layar lebar Demon Slayer berhasil melampaui rekor sejarah sebagai film Jepang dengan pendapatan kotor tertinggi yang sebelumnya dipegang oleh Spirited Away. Besarnya pencapaian tersebut menunjukkan bahwa kesuksesan Demon Slayer tidak terbatas pada promosi lintas media, melainkan turut menunjukkan bagaimana industri anime di Jepang mampu memanfaatkan peluang pasar global.

Tak berhenti sampai di situ, strategi promosi anime sebagai alat berdiplomasi turut memberikan dampak pada sektor pariwisata. Demon Slayer adalah salah satu contoh nyata bagaimana sebuah karya fiksi dapat menciptakan minat masyarakat global untuk mengenal Jepang dengan lebih dalam. Adanya penggambaran lanskap, kuil tradisional, hingga latar kota bersejarah berhasil mendorong tren anime pilgrimage, yakni tren di mana para penggemar secara berbondong-bondong mengunjungi lokasi nyata yang digambarkan dalam anime. Tren anime pilgrimage yang dipopulerkan melalui Demon Slayer menghadirkan bentuk pariwisata baru yang memperluas citra Jepang di mata dunia. Misalnya, Ginzan Onsen di Yamagata kini kerap dikaitkan dengan Desa Pandai Pedang dalam arc Swordsmith Village, sementara Asakusa di Tokyo kembali menarik perhatian wisatawan mancanegara karena menjadi latar pertemuan Tanjiro dengan Muzan. Keterhubungan antara lokasi nyata dan dunia fiksi menciptakan pengalaman wisata yang unik, bukan sekadar menikmati keindahan alam atau budaya, melainkan juga sebuah perjalanan emosional yang mempertemukan penggemar dengan karya yang mereka cintai. Strategi ini pada akhirnya memperkuat posisi Jepang sebagai negara yang mampu memadukan warisan budaya, landskap alam, dan kreativitas industri hiburan untuk membangun daya tarik pariwisata modern yang bersifat global.

Akan tetapi, meski penayangan Demon Slayer sebagai serial anime dan film layar lebar sukses menarik minat global, tentu terdapat sejumlah tantangan krusial yang patut diwaspadai oleh pemerintah Jepang. Kehadiran anime seperti Demon Slayer memang berhasil menyoroti berbagai lokasi nyata melalui balutan cerita fiksi, tetapi ada potensi penyederhanaan budaya ketika tempat-tempat tersebut hanya dilihat sebagai latar visual tanpa pemahaman yang lebih dalam terhadap makna historis maupun sosialnya. Tantangan lain yang mungkin dihadapi adalah risiko komodifikasi budaya, di mana esensi budaya menjadi memudar karena nilai-nilai tradisional telah berubah menjadi sekadar produk komersial. Selain itu, meningkatnya jumlah wisatawan karena popularitas anime juga berpotensi menimbulkan berbagai masalah yang disebabkan oleh overtourism, seperti kerusakan lingkungan serta tergesernya kehidupan masyarakat setempat.  

Oleh karena itu, pemerintah Jepang perlu memastikan bahwa pariwisata berbasis anime tidak berhenti pada aspek konsumsi semata, melainkan juga berperan sebagai sarana edukasi yang mampu memperkenalkan kekayaan budaya Jepang secara komprehensif kepada wisatawan. Pemerintah dapat mengajak studio anime dan lembaga budaya untuk bekerjasama dalam menciptakan paket wisata edukatif yang menggabungkan kunjungan ke lokasi anime dengan penjelasan sejarah dan tradisi lokal. Penerapan sistem pembatasan atau kuota pengunjung pada situs-situs populer juga dapat menjadi strategi untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kualitas pengalaman wisata. Melalui pendekatan ini, Jepang tidak hanya memanfaatkan daya tarik anime sebagai alat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengukuhkan perannya sebagai penjaga warisan budaya yang berkelanjutan.

Referensi

Chen, Y. (2025). Research on Consumer Behavior and Loyalty in the Japanese Anime Industry. Journal of Social Science Humanities and Literature, 8(1), 44-48.

Nye, J. S. (2005). Soft Power-The Means To Success In World Politics. New York City, NY: Publicaffairs.

Pratama, A. D., & Puspitasari, A. (2020, March 3). Diplomasi Budaya Anime Sebagai Upaya Penguatan Soft Power Jepang Periode 2014-2018. Retrieved September 6, 2025, from https://jom.fisip.budiluhur.ac.id/balcony/article/view/216

Putri, R. D. C. (2021). Anime Becomes Japanese Cultural Diplomacy to Attract a Positive Impression on Soft Power.

Sejarah Anime: Awal Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia. (2022, May 18). Kompas.com. Retrieved September 6, 2025, from https://www.kompas.com/stori/read/2022/05/18/090000679/sejarah-anime-awal-kemunculan-dan-perkembangannya-di-indonesia

Wisanggeni, W. P. (2019). Soft Power Jepang Di Dalam Anime Samurai Champloo Sebagai Bentuk Diplomasi Kebudayaan. Jurnal Lugas, 3(2). https://ojs.stiami.ac.id/index.php/lugas/article/view/706/423

Zhao, H. (2022). Research on Marketing Strategies Used in Japanese Anime Industry Taking the Demon Slayer as an Example. Atlantis Press, 731-734.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More Articles & Posts