Ditulis oleh Ragilia Dwi Pradita, Rahma Apasha, dan Gisya Khayla Azanis
Sesuatu yang melekat pada diri setiap manusia adalah martabat, cahaya halus yang tak kasat mata, tapi menjadi penanda bahwa kita hidup sebagai manusia, bukan sekadar jasad bernyawa. Hak asasi manusia adalah cahaya yang seharusnya menerangi setiap langkah kehidupan manusia hak untuk hidup, untuk bebas, dan untuk bermartabat tanpa ketakutan. Konsep dan pemahaman mengenai HAM muncul manakala setiap manusia lahir dan menghembuskan nafas untuk pertama kalinya di bumi. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada diri manusia, tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, etnis, bahasa, agama, atau status lainnya. Hak yang termasuk didalamnya adalah hak kebebasan untuk hidup dan kebebasan, kebebasan dari perbudakan dan penyiksaan, kebebasan berekspresi dan berpendapat, hak untuk bekerja dan berpendidikan, dan setiap orang berhak atas segala hak-hak ini tanpa adanya diskriminasi (Alviana et al., 2022).
Namun, seiring berjalannya waktu, cahaya itu semakin sering tertutup kabut kelam kenyataan. Di dunia yang katanya kian maju, pelanggaran hak asasi manusia justru terus terjadi, seolah kemajuan peradaban tidak selalu sejalan dengan kemajuan moral. Manusia masih tega merampas kebebasan sesamanya, menindas yang lemah, dan memperdagangkan tubuh serta harapan mereka demi keuntungan pribadi. Hak yang seharusnya melekat sejak lahir kini tercabik oleh kerakusan dan ketidakpedulian. Dari ruang-ruang kekuasaan hingga lorong gelap perdagangan manusia, suara kemanusiaan sering tenggelam di antara gemerincing uang dan kepentingan. Ironisnya, di tengah gencarnya kampanye tentang kesetaraan dan keadilan, masih banyak jiwa yang hidup tanpa haknya diakui mereka yang dijadikan barang dagangan, buruh tanpa nama, atau korban yang suaranya tak pernah terdengar.
Perdagangan manusia menjadi salah satu wujud paling nyata dari pelanggaran hak asasi manusia di dunia modern. Dalam praktik ini, manusia kehilangan hak paling mendasarnya hak untuk hidup bebas dan bermartabat. Mereka dijebak dalam jaringan eksploitasi, dipaksa bekerja tanpa kebebasan, dijual, dan diperlakukan seolah bukan manusia, melainkan barang dagangan. Perdagangan manusia tidak hanya merampas kebebasan fisik, tetapi juga menghancurkan jati diri dan harapan korban. Mereka kehilangan kendali atas tubuh, pilihan, dan masa depan mereka sendiri. Di sinilah letak pelanggaran paling mendalam saat manusia tak lagi diakui sebagai manusia, melainkan sekadar alat untuk memenuhi ambisi dan kerakusan orang lain. Kondisi hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara masih menghadapi berbagai tantangan serius. Meski sebagian negara telah menandatangani instrumen internasional tentang HAM, pelanggaran tetap terjadi dalam berbagai bentuk—mulai dari pembatasan kebebasan berekspresi, penindasan terhadap minoritas, hingga eksploitasi manusia. Salah satu isu paling menonjol di kawasan ini adalah meningkatnya kasus perdagangan manusia (human trafficking) yang seringkali melibatkan jaringan lintas negara dan korupsi di tingkat lokal.
Kamboja menjadi salah satu negara dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap praktik ini. Letak geografisnya yang strategis, kondisi ekonomi yang lemah, dan rendahnya penegakan hukum menjadikan banyak warganya mudah terjerat dalam jerat perdagangan manusia. Banyak korban, terutama perempuan dan anak-anak, dijanjikan pekerjaan di luar negeri namun justru berakhir sebagai korban eksploitasi seksual atau kerja paksa. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus online scam trafficking di Kamboja juga meningkat tajam. Ribuan orang dari berbagai negara di Asia direkrut secara ilegal untuk bekerja di pusat penipuan daring (scam compounds), di mana mereka dipaksa bekerja di bawah ancaman kekerasan dan penahanan. Fenomena ini memperlihatkan wajah baru perbudakan modern di era digital. Meningkatnya kasus perdagangan manusia (human trafficking) di Kamboja pada tahun 2024 dicatat dengan meningkatnya jumlah kasus menjadi 197, naik 33 kasus dibandingkan tahun sebelumnya. Di Phnom Penh mencatat jumlah WNI yang tiba di Kamboja melonjak dalam 5 tahun terakhir. Pada 2024, tercatat 166.795 kedatangan, meningkat 11 kali lipat dibandingkan 14.564 kedatangan pada 2020. Penegakan hukum meningkat dengan penangkapan 273 tersangka, jauh lebih banyak dari 194 pada 2023. Deportasi pelaku juga melonjak, termasuk 2.695 warga China, 1.198 Vietnam, dan 861 Indonesia. Kasus ini sebagian besar terkait dengan kerja paksa di pusat penipuan online, perbudakan, dan eksploitasi seksual. Pemerintah Kamboja dikritik karena gagal mengatasi masalah ini secara efektif dan adanya dugaan keterlibatan pejabat tinggi yang melindungi jaringan kriminal. Krisis ini juga menempatkan Kamboja di Tier 3 terendah dalam laporan perdagangan manusia AS tahun 2025, menandakan kegagalan pemerintah dalam menanggulangi masalah ini
Beragam bentuk-bentuk perdagangan manusia yang terjadi di seluruh dunia, terutama di Kamboja, Seperti kerja paksa, perdagangan seks atau eksploitasi seksual meningkat sebesar 33 kasus dari tahun sebelumnya, yakni sebanyak 197 kasus (Business & Human Rights Resource Center, 2025). Kemudian pernikahan secara paksa, dan eksploitasi pada anak-anak dengan rentang usia 14-16 tahun (Amnesty International, 2025). Amnesty International melaporkan sedikitnya ada 53 kompleks penipuan di Kamboja yang digunakan untuk perdagangan manusia (Amnesty International, 2025). Pada Juli 2025, publik Indonesia kembali digemparkan dengan kasus penipuan berkedok tawaran kerja di industri judi online di Kamboja. Berdasarkan laporan KBRI Phnom Penh (22 Juli 2025), sebanyak 339 WNI terjaring dalam operasi pemberantasan penipuan daring oleh otoritas Kamboja. Mereka direkrut melalui iklan kerja palsu di media sosial yang menjanjikan posisi dengan gaji tinggi, namun setelah tiba di lokasi justru dipaksa bekerja untuk sindikat judi online dan penipuan daring lintas negara. Modusnya melibatkan kontrak kerja palsu dan penahanan paspor korban. KBRI menyebut sebagian besar korban merupakan korban perdagangan orang (human trafficking) yang dimanfaatkan dalam jaringan China–Kamboja. Di waktu yang sama, Polri di Indonesia juga membongkar jaringan judi online dengan server di dua negara tersebut dan menangkap 22 tersangka dengan keuntungan mencapai miliaran rupiah per bulan. Kasus ini menegaskan keterkaitan antara kejahatan siber dan eksploitasi tenaga kerja, serta menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak mudah tergiur tawaran kerja luar negeri tanpa kejelasan legalitas perusahaan.
Praktik perdagangan manusia sebetulnya sudah ada sejak awal peradaban manusia yang dulu berakar dari perbudakan, dan hal ini menjadi fenomena lazim di tengah masyarakat. Namun jika direfleksikan dengan saat ini yang sudah mengerti dengan persoalan hak asasi manusia, perdagangan manusia dipandang sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan tidak ada alasan moral apapun untuk membenarkan tindakan tersebut (Syamsuddin, 2020). Tindakan perdagangan manusia juga dilarang dan diatur pada berbagai instrumen hukum internasional sebagai alat legitimasinya, termasuk pada Universal Declaration of Human Rights yang diproklamasikan pada 10 Desember 1948 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris. Beberapa pasal secara eksplisit maupun tidak, merujuk pada tindakan perdagangan manusia. Seperti pada pasal 3 yang berbunyi “everyone has the right to life, liberty, and security of person”, pasal ini meng-highlight bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup, merasakan keamanan dan kebebasan. Namun ketiga poin tadi dilanggar pada praktik perdagangan manusia yang merenggutnya sekaligus. Kemudian pada pasal 4 yang berbunyi “no one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms” yang secara eksplisit melarang perdagangan manusia dan segala jenis tindakan eksploitatif atas manusia lain. Pasal 5 yang berbunyi “no one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment” juga melarang siapapun menjadi target perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, dan melakukan penyiksaan. Tindakan keji yang barusan disebutkan, seringkali ditemukan pada kasus perdagangan manusia yang korbannya diperlakukan dengan semena-mena.
Selain Universal Declaration of Human Rights, alat legitimasi internasional lain untuk melindungi hak manusia dan melarang tindakan human trafficking adalah International Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966. Pada pasal 8 terutama poin 1 yang berbunyi “no one shall be held in slavery; slavery and the slave-trade in all their forms shall be prohibited” dan pada poin 2 yang berbunyi “no one shall be held in servitude” menegaskan bahwa perbudakan, perdagangan budak, dan kerja paksa termasuk pada konteks perdagangan manusia, dilarang dan mewajibkan negara untuk menghukum pelaku.
Faktor struktural yang menyebabkan perdagangan manusia di Kamboja dapat dianalisis menurut perspektif ekonomi, sosial, dan politik-hukum sebagai berikut:
- Perspektif Ekonomi
Kemiskinan dan pengangguran tinggi menjadi akar utama masalah perdagangan manusia di Kamboja. Keterbatasan lapangan pekerjaan dan rendahnya akses pendidikan membuat banyak orang menjanjikan pekerjaan dengan janji gaji tinggi oleh jaringan perdagangan manusia. Krisis ekonomi, perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen, serta ketimpangan ekonomi antar wilayah semakin memperparah kerentanan masyarakat untuk terjebak dalam perdagangan manusia. Jeratan hutang dari biaya dokumen, perjalanan, atau kebutuhan hidup juga menjadi modus eksploitasi yang umum.
- Perspektif Sosial
Faktor sosial seperti rendahnya pendidikan, tradisi budaya yang membatasi peran wanita dan anak perempuan, serta stereotip gender meningkatkan risiko eksploitasi. Perempuan dan anak-anak dari daerah pedesaan yang miskin lebih rentan menjadi korban, seringkali diperdagangkan untuk eksploitasi seksual dan kerja paksa. Stigma sosial dan kekerasan terhadap korban memperburuk keadaan dan menghambat upaya pemulihan dan pelaporan kasus.
- Perspektif Politik-Hukum
Kelemahan dalam sistem hukum dan politik Kamboja juga berkontribusi besar. Korupsi pejabat, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah menghambat pemberantasan perdagangan manusia. Selain itu, internalisasi norma HAM yang rendah dan struktur domestik yang sangat terkontrol negara menghambat kerja sama transnasional dalam memberantas perdagangan ini. Kurangnya komitmen pemerintah dalam menindak tegas pelaku dan melindungi korban memperparah situasi.
Perdagangan manusia mengkonstruksikan rangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang sistemik, sehingga berdampak pada beberapa aspek korban. Pada laporan Amnesty International (2025), terungkap bahwa korban perdagangan manusia mengalami berbagai kekerasan dan penyiksaan seperti dipukul dengan tongkat berbahan logam, disetrum, hingga dikurung di ruangan gelap tanpa makanan jika mereka tidak memenuhi target pekerjaan. Kemudian para korban eksploitasi kerja paksa juga ikut terdampak dari segi fisik, mereka seringkali dituntut untuk bekerja lebih dari 12 jam tanpa upah sehingga mengalami kelelahan dan kerugian, kekurangan gizi, hingga tinggal di tempat dengan kondisi sanitasi yang buruk. Belum lagi para perempuan yang menjadi korban eksploitasi seksual, mereka mendapatkan resiko terjangkit penyakit kelamin menular, kehamilan paksa dan tindakan aborsi yang tidak diberikan akses untuk mendapatkan pelayanan medis oleh para pelaku.
Perdagangan manusia juga berdampak pada aspek psikologis korban. Mereka mengalami depresi berat, kecemasan kronis, hingga gangguan pada tidur yang mengindikasikan mereka mengalami trauma kompleks akibat tindak kekerasan fisik dengan pola yang berulang kali. Para agen perdagangan manusia bekerja sama dengan petugas pemerintah untuk membantu urusan birokrasi agar prosesnya cepat dan memakan biaya yang lebih rendah. Korban perdagangan manusia juga mengakui bahwa mereka mengalami trauma dan diliputi rasa ketakutan kepada aparat dan kepolisian, karena mereka mengenali wajah-wajah pelaku yang sering mengancam para korban (Human Rights Watch, 2011). Hal ini menunjukan bahwa aparat lokal dan pejabat sebagai otoritas pemerintah, turut andil dalam rangkaian proses fenomena pelanggaran hak asasi manusia ini.
Potensi dampak sosial dalam bentuk pengucilan dan stigma sosial juga menjadi hal yang dikhawatirkan para korban perdagangan manusia. Saat mereka kembali ke rumah di daerah asal mereka, korban bisa dianggap oleh lingkungan sekitar sebagai “aib keluarga”, apalagi para perempuan yang menjadi korban eksploitasi seksual perdagangan manusia, bisa saja dianggap sudah tidak suci. Dalam internal keluarga ataupun tetangga korban juga dapat mengalami keretakan karena dalam beberapa kasus, tetangga atau anggota keluarga sendiri yang merekrut anggota perdagangan manusia sehingga mereka mengalami krisis kepercayaan.
Korban perdagangan manusia dan negara asal korban juga mengalami kerugian dari segi ekonomi. Korban yang pada awalnya dijanjikan banyak hal termasuk kekayaan finansial, malah mengalami kerugian sehingga harus membayar ini dan itu, worst case nya terlilit hutang akibat mengalami kerugian uang. Negara yang mengurus kasus ini juga membutuhkan biaya yang besar untuk penanganan hukum, fisik, hingga psikologis korban.
Berbagai upaya kebijakan dan perangkat hukum sebenarnya sudah gencar diterapkan, tetapi efektivitasnya belum seindah yang diharapkan. Pemerintah Kamboja telah berupaya menunjukkan komitmennya dengan meratifikasi berbagai kesepakatan internasional seperti Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons (Protokol Palermo) serta menerapkannya ke dalam sistem hukum nasional melalui Undang-undang Penanggulangan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Seksual Tahun 2008. dan memperkuat dasar hukumnya melalui Penal Code Tahun 2009 yang mengatur sanksi bagi pelaku perdagangan manusia (Rahayu & Januarsyah, 2025). Tak berhenti di situ saja, usaha pemerintah Kamboja menyelenggarakan program rehabilitasi dan peningkatan kesadaran. Salah satunya adalah melalui Departemen Perdagangan Manusia di bawah Kementerian Urusan Perempuan, pemerintah Kamboja melaksanakan berbagai kegiatan pencegahan seperti kampanye peningkatan kesadaran tentang perdagangan manusia dan migrasi aman, pendidikan dan pengembangan kapasitas, pembentukan jaringan perlindungan anak, pengentasan kemiskinan, dan proyek tanggap bencana melalui proses kredit mikro (Naro, 2009). Namun, sebagian besar kebijakan maupun program tersebut masih bersifat formalitas dan belum menyentuh inti masalah,lebih berorientasi pada penindakan, dan kurang fokus dalam pencegahan dan pemulihan korban.
Upaya kolaboratif dengan bantuan-bantuan dari pihak eksternal juga memainkan peran penting dalam menumpas kasus perdagangan manusia di Kamboja. Pemerintah Kamboja telah membentuk National Task Force (NFT) yang berkomitmen pada perjanjian Memorandum of Understanding (MOU) regional mengenai pemberantasan perdagangan manusia dan penyediaan bantuan bagi korban perdagangan manusia. NTF, yang terdiri dari 10 pasal, menegaskan pentingnya kerjasama yang lebih erat antara kelompok kerja tingkat kota maupun provinsi, serta pelaksanaan perjanjian antara Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Dalam konteks ini, NTF memiliki peran penting sebagai wadah kerjasama antara berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, lembaga donor internasional, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam menjalankan program pencegahan dan rehabilitasi korban. Selain itu, ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP) memberikan dukungannya dengan memberikan kerangka hukum dan normatif bagi negara-negara, termasuk Kamboja, untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam pencegahan, perlindungan korban, dan penindakan terhadap pelaku (Rahayu & Januarsyah, 2025). Dengan adanya ACTIP juga turut memperkuat penegakan hukum dan bantuan penanganan terhadap korban.
Akan tetapi, masih ada hambatan-hambatan dari upaya yang menjadi tantangan besar. Situasi ini disebabkan oleh serangkaian dinamika sosial, ekonomi, dan politik di dalam negeri. Faktor-faktor seperti guncangan kemiskinan, lemahnya penegakan hukum, dan meluasnya jaringan kriminal transnasional menjadi senjata utama yang memperburuk eksploitasi yang sulit dihempas. Selain itu, berakar dari rendahnya mekanisme penegakan hukum semakin memperburuk keadaan hingga menimbulkan korupsi yang meluas lalu menyelinap ke penegakan hukum dan sistem peradilan mendukung lingkungan di mana pelaku perdagangan manusia dapat beroperasi dengan bebas. Longgarnya tatanan hukum ini mendorong terhambatnya dan terabaikannya tindak investigasi terhadap pelaku terhadap kasus karena masalah suap dan intervensi kepentingan. Menyoroti aspek sosial, rendahnya pendidikan dan ketimpangan gender yang kuat juga turut memprihatinkan. Orang tua kerap memainkan peran dalam membatasi akses pendidikan untuk anak, khususnya perempuan, dengan alasan persepsi tradisional yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki menimbulkan kesenjangan gender dan nilai-nilai patriakal yang masih melekat dan mempersempit ruang pendidikan. Dengan demikian, meski LSM telah melakukan berbagai program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, namun kekuatan efektivitasnya juga masih terbatas, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau sehingga program-program ini sering kali tidak dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, yang merupakan sumber utama dari banyak korban perdagangan manusia. Tak dapat dipungkiri jika ini juga disebabkan oleh kurangnya dukungan pemerintah dalam memprioritaskan penanganan perdagangan manusia.
Dengan demikian, pelanggaran hak asasi ini menunjukkan bahwa perdagangan manusia di Kamboja bukan sekedar kejahatan lintas negara, melainkan gambaran buram atas lunturnya nilai kemanusiaan di tengah tata dunia yang semakin eksploitatif. Cahaya martabat manusia yang seharusnya saling melindungi segenap jiwa kini meredup hilang dalam kerakusan ekonomi, korupsi, dan lemahnya pertahanan negara terhadap perlindungan hak asasi manusia. Beragam kebijakan dan hukum memang sudah diterapkan, namun jika hanya menjadi wacana tanpa penanganan lebih itu semua hanyalah janji rapuh bagi mereka yang terluka. Perjuangan melawan kriminalitas ini bukan hanya sebagai bentuk teguran kejahatan, tetapi bukti kepedulian sesama kepada mereka yang berhak disembuhkan dan dilindungi. Kerjasama antar pemerintah, masyarakat, dan para lembaga menjadi ikatan penting dalam menjaga martabat manusia agar tidak lagi diperdagangkan, melainkan dihormati sebagai makhluk hidup yang haknya melekat sejak mereka lahir ke dunia.
Referensi
Amnesty International. (2025, Juni 26). Cambodia: ‘I was Someone Else’s Property’: Slavery, Human Trafficking and Torture in Cambodia’s Scamming Compounds. https://www.amnesty.org/en/documents/asa23/9447/2025/en/
ASEAN-Australia Counter Trafficking. (2024). Human Trafficking & Forced Labour in Cambodia’s Cyber-Scam Industry. https://www.aseanact.org/wp-content/uploads/2024/05/202405-LSCW-Cyber-scams-and-HT-report-design-1.pdf
Business & Human Rights Resource Center. (2025). Cambodia: Govt. Warn of Increasing Human Trafficking Cases and Tech-Based Scams. https://www.business-humanrights.org/en/latest-news/cambodia-govt-warn-of-increasing-human-trafficking-cases-and-tech-based-scams/
Eurica, N. M. F., & Dompak, T. (2025). Kamboja sebagai pusat perdagangan manusia internasional. Universitas Putera Batam.
Human Rights Watch. (2011, Oktober 31). They Deceived Us at Every Step. https://www.hrw.org/report/2011/10/31/they-deceived-us-every-step/abuse-cambodian-domestic-workers-migrating-malaysia
McPherson. (2025, Juni 26). Amnesty says Cambodia is Enabling Brutal Scam Industry. Reuters. https://www.reuters.com/sustainability/society-equity/amnesty-says-cambodia-is-enabling-brutal-scam-industry-2025-06-26/
Naro, N. (2009). Human trafficking in Cambodia: Reintegration of the Cambodian illegal migrants from Vietnam and Thailand. Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies. https://rsis.edu.sg/wp-content/uploads/rsis-pubs/WP181.pdf
Rahayu, I., & Januarsyah, D. (2025). Penanganan perdagangan manusia di Kamboja dalam perspektif hukum internasional. Fakultas Hukum, Universitas Lampung. https://www.researchgate.net/publication/39438128_Penanganan_Perdagangan_Manusia_Di_Kamboja_Dalam_Perspektif_Hukum_Internasional
Rinith, Taing. (2024, September 16). Cambodia Cracks Down on 104 Human Trafficking and Sexual Exploitation Cases in the First Half of 2024. Khmer News. https://www.khmertimeskh.com/501559363/cambodia-cracks-down-on-104-human-trafficking-and-sexual-exploitation-cases-in-the-first-half-of-2024/
Syamsuddin, S. (2020). BENTUK-BENTUK PERDAGANGAN MANUSIA DAN MASALAH PSIKOSOSIAL KORBAN. Sosio Informa, 6(1). https://doi.org/10.33007/inf.v6i1.1928
Yanggolo, M., Waha, C. J., & Paseki, D. J. (2024). Implementasi perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di Kamboja. Lex Administratum, 12(4). https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/administratum/article/view/55718
United Nations. International Covenant on Civil and Political Rights. https://treaties.un.org/doc/treaties/1976/03/19760323%2006-17%20am/ch_iv_04.pdf
United Nations. Universal Declaration of Human Rights.
United Nations Office on Drugs and Crime. Global Report on Trafficking in Persons 2024. https://www.unodc.org/documents/data-and-analysis/glotip/2024/GLOTIP2024_BOOK.pdf
United States of America, Department of State. (2024). 2024 Trafficking in Persons Report: Cambodia. https://www.state.gov/reports/2024-trafficking-in-persons-report/cambodia/
United Nations Women. (2024). Report to the Secretary-General of the United Nations on Trafficking in Women and Girls. https://www.unwomen.org/sites/default/files/2024-10/a-79-322-submission-cambodia-en.pdf







Tinggalkan Balasan