Jl. Rs. Fatmawati, Pondok Labu – South Jakarta

fpciupnvj@upnvj.ac.id

@fpciupnvj

Gastrodiplomasi: Dalam Setiap Cita Rasa, Tersimpan Cinta Dua Bangsa

Ditulis oleh Ragilia Dwi Pradita & Mohamad Ananda Widyanto

Dalam setiap sajian yang telah dihidangkan, tersimpan makna yang lebih pekat dari rasa. Bukan hanya sekadar pemuas lapar atau memanjakan indra perasa. Tak ada yang pernah meyangka sebuah sajian penuh cinta dan kaya akan tradisi berubah menjadi rangkulan tangan yang mencengkram dua negara yang memiliki perbedaan budaya. Konsep hidangan yang  sekedar menjadi santapan melahirkan konsep Gastrodiplomacy sebuah seni menyampaikan identitas budaya lewat rasa. Gastrodiplomasi sendiri adalah praktik   diplomasi   budaya   dalam   bentuk diplomasi     publik     yang     memanfaatkan kekayaan    kulinernya    untuk    kepentingan nasional (Ghafiqi, 2023). Makanan bukan hanya sebagai kudapan nikmat, tapi di sini makanan hadir sebagai identitas budaya dan tradisi. Aroma dan cita rasa menjadi penutur yang siap menyampaikan pesan dari sebuah bangsa kepada dunia. Lebih dari sekadar hidangan, makanan menjadi salah satu cara negara membangun citra yang baik dalam dunia diplomasi dengan cara yang ciamik. Berbeda dengan bentuk diplomasi lain, gastrodiplomasi lebih menekankan pada kebijakan pemerintah yang di dalamnya melakukan proses “exchange of food culture” di antara individu, bahkan melalui peran diaspora (Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam Pradipta, 2022).

Sejarah penggunaan makanan sebagai alat berdiplomasi bukan merupakan hal yang baru dilakukan. Di masa lampau, perjamuan hidangan ini telah menjadi aktor penting untuk meningkatkan hubungan antar kerajaan atau kesultanan.  Perjamuan makanan menjadi symbol yang dirancang utuk membangun relasi an ikatan antar negara. Salah satu perjamuan paling besar yang pernah terjadi dalam sejarah adalah jamuan Britania Raya dan Prancis. Pada tahun 1518, di Balinghem Perancis terdapat sebuah perjamuan yang dinamakan “The Field of the Colth of Gold”. Selama tiga minggu berturut-turut menunjukan bahwa ikatan dapat terbentuk dari sebuah kudapan makanan. Kebiasaan perjamuan terus dilanggengkan dan dilestarikan. Makanan kerap hadir sebagai salah satu pelengkap undangan kenegaraan.  Kebiasaan perjamuan makanan tersebut terus dilanggengkan hingga pada abad ke-20. Dikutip dari Kompasiana istilah Gastrodiplomasi pertama kali dicetuskan oleh Paul Rockowe dalam karyanya yang berjudul “Recipes for Gastrodiplomacy, Place Branding and Public Diplomacy”. Dari pemahaman bahwa makanan mampu menjembatani perbedaan dan menyampaikan pesan tanpa kata, gastrodiplomasi pun hadir sebagai medium yang kuat dalam membentuk hubungan antarbangsa. Konsep ini tidak hanya menggambarkan kekuatan rasa, tetapi juga menunjukkan bagaimana budaya dan identitas suatu bangsa dapat ditransformasikan menjadi alat diplomatik yang efektif. Jika kita menengok ke belakang, praktik ini sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi Indonesia seperti yang dilakukan saat mengadakan program “Indonesia Spice Up the World”.  Sejarah telah mencatat bagaimana negeri ini menggunakan kekayaan kulinernya dalam berbagai momen penting sebagai strategi diplomasi budaya.

Di Indonesia konsep mengenai gastrodiplomasi telah hadir sejak era Presiden Soekarno. Pada Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, Soekarno menggunakan makanan khas Indonesia sebagai strategi untuk “mengambil hati” para pemimpin negara lain. Beliau turut mengumpulkan resep-resep masakan Nusantara yang kemudian dibukukan dalam Mustika Rasa, sebagai dokumen resmi negara untuk mempromosikan kekayaan kuliner Indonesia. Gastrodiplomasi Indonesia berakar dari cita rasa Nusantara yang kaya rempah-rempah, yang sejak ratusan tahun lalu menjadi incaran para penjelajah asing. Rempah-rempah ini tidak hanya menjadi komoditas perdagangan penting, tetapi juga menjadi fondasi budaya kuliner yang unik dan menjadi alat diplomasi budaya. Secara konseptual, gastrodiplomasi menggabungkan diplomasi kuliner, diplomasi budaya, dan nation branding untuk membangun citra dan reputasi bangsa di mata dunia. Upaya formal dan strategis untuk gastrodiplomasi baru mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir, seperti promosi kuliner dalam forum internasional seperti KTT G20 dan ASEAN. 

Sebagai negara yang berdiri sebagai dua raksasa kuliner di Asia Tenggara, cita rasa dari makanan Thailand dan Indonesia tak hanya menciptakan rasa yang nikmat untuk dinikmati namun ini merupakan kunci dari suksesnya kerja sama yang terjalin satu sama lain. Melalui program “Thailand Kitchen of the World”, alasan pemerintah Thailand melaksanakan program tersebut ialah untuk menjadi salah satu eksportir sektor agrikultur terbesar di dunia (Pradipta, 2022). Kemudian, dengan adanya kekuatan dalam sektor agrikultur, Thailand mencoba melakukan diplomasi dengan berbagai negara yang salah satunya Indonesia. Kerja sama ini terbentuk melalui program “Global Thai” yang mengonsentrasikan diplomasi melalui kuliner. Indonesia menyambut baik kebijakan diplomasi melalui kuliner tersebut.  Kerja sama Kementerian Luar Negeri dengan Kementerian Sosial dan Budaya memperkuat diplomasi kuliner di Indonesia dengan menyelenggarakan acara budaya dengan Indonesia di Kedutaan Thailand hingga di rumah para diplomat Thailand sekalipun (Naim.,et al, 2022). Kerjasama diplomasi kuliner antara Thailand dan Indonesia melalui program tersebut mencerminkan bagaimana kuliner dapat menjadi jembatan yang efektif dalam mempererat hubungan antar negara seperti mulai munculnya restoran Thailand yang berada di Indonesia seperti Shantai dan Face Kitchen. Di sini makanan menjadi salah satu instrumen penting untuk menyatakan kesetaraan. Indonesia dan Thailand juga baru saja memperingati hari jadi gastrodiplomasi yang sudah terjalin selama 75 tahun per tanggal 27 April 2025 kemarin. Acara ini adalah cerminan persahabat yang terjalin lewat pertukaran budaya kuliner tradisional. Perayaan ini menjadi simbol bahwa kekuatan tak hanya diciptakan dari kekuatan retorika tapi melalui rasa. Bagaimana rasa dapat menyatukan perbedaan dan suapan menjadi rangkulan yang mampu melemahkan perdebatan. Melalui acara “Gastrodiplomacy Journey: Immersive Culinary Experiences of Indonesia and Thailand”, kedua negara tidak hanya merayakan hubungan diplomatik, tetapi juga memperkuat persahabatan lewat pertukaran kuliner tradisional, seperti batagor dan tomyum, nasi goreng, sate, hingga Thai tea yang dihidangkan bersama dalam suasana penuh kehangatan. 

Gastrodiplomacy bukan hanya menjadi ajang untuk mempromosikan budaya lewat makanan tapi ini seperti sebuah rangkulan yang membuat jarak antara bangsa menjadi mengecil. Penyatuan dua negara yang tidak hanya unik tapi berdaya jangkau luas. Terlepas dari adanya perbedaan bahasa atau kebudayaan, makanan menjadi rangkulan yang menyatukan Indonesia dan Thailand bersama-sama. Baik Thailand atau Indonesia dapat memanfaat kekuatan cinta dari kudapan yang terasa nikmat untuk merubahnya menjadi sebuah ikatan persahabatan. Gastrodiplomasi menepis asumsi bahwa diplomasi hanya dilaksanakan untuk memuaskan kebutuhan satu atau dua negara. 

Dari sejarah serta contoh yang ada, jelas bahwa makanan tidak hanya tentang rasa, tetapi juga merupakan medium yang mampu menyatukan perbedaan. Gastrodiplomasi adalah bukti bahwa diplomasi dapat hadir dalam bentuk yang sederhana namun sangat berdampak. Melalui masakan, baik Indonesia maupun Thailand mampu membangun kepercayaan, memperkuat hubungan, dan secara damai serta hangat mengungkapkan ekspresi budaya. Makanan bukan hanya simbol ikatan persahabatan, tetapi juga merupakan strategi cerdas untuk membentuk citra negara di komunitas internasional.

Referensi

Ghafiqi, A. F. A. (2023). Gastrodiplomasi: Strategi Indonesia Dalam Membangun Nation Branding di Kancah Internasional. Journal of International Relations Diponegoro., 9(2), 140–152. https://doi.org/10.14710/jirud.v9i2.38440

Pradipta, I. Y. (2022). Strategi Gastrodiplomasi Thailand Melalui Program “Kitchen Of The World” Indonesia

Naim, J., Hidayat, A., & Bustami, S. Y. (2022). Strategi gastrodiplomasi Thailand dalam sektor pariwisata untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara (Studi kasus gastrodiplomasi Thailand di Indonesia). Indonesian Journal of Global Discourse, 4(1), 35-45. 

Indonesia dan Thailand merayakan 75 tahun hubungan diplomatik dengan peluncuran logo peringatan. (2025, January 30). https://kemlu.go.id/berita/indonesia-dan-thailand-merayakan-75-tahun-hubungan-diplomatik-dengan-peluncuran-logo-peringatan?type=publication.

Baskoro, R. M. (2022). Kisah Selera dari Negeri Rempah: Memahami Gastrodiplomasi dari Perspektif Indonesia. Indonesian Perspective, 7(2). https://doi.org/10.14710/ip.v7i2.50780 

Fadhlurrahman, F. (2024, May 18). Gastrodiplomasi Indonesia: Mengunggulkan Pekan Kuliner sebagai alat diplomasi halaman 1 – Kompasiana.com. KOMPASIANA. https://www.kompasiana.com/fikrifadhlurrahman3192/6648a5a7de948f3a280bc7e2/gastrodiplomasi-indonesia-mengunggulkan-pekan-kuliner-sebagai-alat-diplomasi#:~:text=Menurut%20Paul%20Rockower%20yang%20dikenal,budaya%20dan%20meningkatkan%20hubungan%20antarnegara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More Articles & Posts