Jl. Rs. Fatmawati, Pondok Labu – South Jakarta

fpciupnvj@upnvj.ac.id

@fpciupnvj

Tatemae–Honne in Japan: Quiet Diplomacy Through Cultural Norms

Ditulis oleh Masyitah Zahra Asyifa

Selama ini, citra Jepang di mata internasional berhasil terbentuk dengan sangat kuat. Banyak negara mengagumi kesuksesannya, baik dari segi teknologi, sumber daya manusia, maupun budayanya yang telah dikenal luas di seluruh dunia. Tak heran, Jepang menjadi salah satu negara yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia, terutama dalam fenomena “kabur aja dulu” yang sempat marak beberapa waktu lalu. Sebagai negara poros teknologi mutakhir, Jepang dikenal memiliki budaya masyarakat yang pekerja keras dan sangat berorientasi pada kualitas tinggi. Mereka juga identik dengan nilai-nilai harmoni, rendah konflik, serta budaya hidup yang tertib dan teratur. Kita sering mengira kebudayaan hanya soal seni atau tradisi, padahal sebenarnya lebih dari itu. Kebudayaan adalah keseluruhan gaya hidup yang dijalani oleh masyarakat, dari bagaimana mereka berpikir, bersikap, bertindak, hingga hal-hal yang mereka hasilkan bersama sebagai satu komunitas. Dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang, hubungan antarmanusia sangat menekankan pada keselarasan, kerjasama timbal balik, dan pengembangan relasi antaranggota (Palandi, n.d.). Hal ini tidak lepas dari karakter masyarakatnya yang cenderung menjaga privasi, menghormati kenyamanan orang lain, dan menghindari konfrontasi terbuka. Oleh karena itu, lingkungan sosial, terutama di dunia kerja, berjalan secara profesional dengan saling menjaga emosi dan privasi antarindividu. Gambaran ini membentuk stereotip positif terhadap aspek sosial masyarakat Jepang, sehingga banyak negara mengagumi, bahkan berupaya meniru budaya sosial Jepang yang dianggap ideal, seperti tertib, sopan, dan harmonis.

Banyaknya sifat dan budaya sosial yang khas di Jepang mencerminkan kompleksitas dalam cara masyarakatnya berinteraksi. Salah satu budaya sosial yang menonjol adalah konsep Tatemae–Honne, di mana terdapat perbedaan antara apa dirasakan secara pribadi (honne), dengan apa yang ditampilkan di hadapan publik (tatemae). Menurut Yoshida dan Yonezawa (2024), honne merujuk pada perasaan serta keinginan asli seseorang, sementara tatemae adalah sikap atau pendapat yang ditunjukkan kepada orang lain sebagai bentuk penyesuaian terhadap norma sosial. Tujuan utama dari tatemae adalah untuk menjaga harmoni, menghindari menyakiti perasaan orang lain, serta mencegah terjadinya konflik atau ketegangan dalam hubungan sosial. Itulah sebabnya, masyarakat Jepang secara sosial sangat menghargai perasaan orang lain dan cenderung merasa sungkan apabila dianggap mengganggu atau melukai kehidupan personal. Dalam konteks ini, kesopanan dan kepekaan emosional menjadi bagian penting dalam komunikasi sehari-hari. Konsep ini juga menjelaskan mengapa komunikasi di Jepang seringkali bersifat tidak langsung dan penuh pertimbangan. 

Dalam keseharian masyarakat Jepang, Tatemae-Honne sering kali terlihat dari cara mereka mengendalikan pikiran dan perasaan pribadi. Misalnya, saat ada pikiran negatif atau keraguan yang muncul di dalam kepala atau sering disebut sebagai intrusive thoughts, mereka tidak langsung mengungkapkan atau melakukannya. Sebaliknya, mereka memilih untuk menahan dan menyembunyikan pikiran tersebut agar tidak mengganggu suasana atau membuat orang lain merasa tidak nyaman. Hal ini menunjukkan bagaimana Tatemae berfungsi sebagai topeng sosial yang menjaga hubungan tetap harmonis, sementara Honne tetap ada di dalam diri secara pribadi. Dengan mengelola pikiran yang muncul secara internal tanpa harus selalu mengekspresikannya, mereka mempraktikkan keseimbangan antara kejujuran pada diri sendiri dan kepedulian terhadap orang lain. Inilah cara budaya Tatemae–Honne diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan komunikasi dan interaksi sosial menjadi lebih halus dan penuh perhatian.

Dalam lingkup politik dan hubungan internasional, peran budaya dan karakter sangat merepresentasikan face dari suatu negara. Tatemae-Honne ini mengambil peran penting bagaimana jepang melancarkan diplomasi demi kepentingan politiknya di kancah internasional. Hal ini sangat kontras bila dibandingkan dengan budaya di negara-negara seperti Amerika Serikat atau Indonesia, di mana masyarakatnya cenderung lebih ekspresif, spontan, dan terbuka dalam mengutarakan pendapat. Sehingga diplomasinya juga tergolong lebih kuat dan mempunyai kesan agresif dalam berdiplomasi. Hal ini bisa dilihat saat perang tarif beberapa saat lalu, Kebijakan Trump dianggap tidak bisa lepas oleh sosoknya yang memang sejak awal pencalonan presiden dianggap sebagai tokoh yang memiliki sejumlah kontroversi dalam ide dan pemikiran (Arisanto & Wibawa, 2021). Dalam budaya semacam ini, kejujuran langsung sering dianggap sebagai bentuk ketegasan, meskipun terkadang dapat menimbulkan konflik atau kesalahpahaman sosial. Perbedaan pendekatan komunikasi ini menunjukkan betapa budaya dan karakter membentuk cara individu mengekspresikan diri dan membangun hubungan sosial di lingkungannya.

 Diplomasi dan praktik hubungan internasional Jepang menunjukkan pendekatan yang berbeda, dengan mengutamakan kehati-hatian serta penyesuaian terhadap ekspektasi eksternal dari sebuah implementasi nyata dari prinsip tatemae–honne. Jepang cenderung menghindari keterlibatan langsung dalam konflik internasional, memilih jalur yang tidak konfrontatif demi menjaga stabilitas hubungan luar negerinya. Pendekatan ini terlihat jelas dalam respons Jepang terhadap perang tarif yang dilancarkan Presiden Trump. Dalam podcast TED Talks Daily berjudul “Where in the World is Trump Taking Us?”, analis politik Ian Bremmer menjelaskan bahwa alih-alih membalas dengan tindakan agresif seperti yang dilakukan Tiongkok, Jepang memilih meningkatkan pembelian produk dari Amerika Serikat, berharap agar AS mempertimbangkan kembali kebijakan tarifnya terhadap Jepang. Langkah ini menunjukkan bahwa meskipun secara honne Jepang mungkin menolak perlakuan diskriminatif tersebut, secara tatemae mereka tetap menjaga hubungan diplomatik yang tenang dan strategis demi menghindari keberlanjutan dari panasnya konflik tarif ini. 

Pendekatan ini mencerminkan gaya “diplomasi senyap” yang khas Jepang yang tidak mencolok, namun tetap efektif dalam memperjuangkan kepentingan nasional. Diplomasi senyap (quiet diplomacy) adalah pendekatan yang tidak mengandalkan tekanan militer , seperti “gun-boat diplomacy” atau publisitas besar-besaran, seperti “public diplomacy”. Sebaliknya, diplomasi senyap dilakukan secara diam-diam melalui komunikasi langsung antara pemerintah atau dengan bantuan pihak ketiga. Pendekatan ini biasanya dilakukan oleh pejabat tinggi negara (Track I diplomacy) dan digunakan dalam situasi sensitif agar konflik bisa dicegah atau diredam tanpa keributan publik. Pendekatan ini dianggap efektif dalam situasi yang membutuhkan sensitivitas tinggi dan di mana keterbukaan justru bisa memperkeruh keadaan. Model diplomasi ini juga memperlihatkan bagaimana budaya dan identitas nasional Jepang ikut membentuk arah kebijakan luar negerinya. Prinsip harmoni, kepekaan terhadap suasana, dan penghindaran konfrontasi terbuka menjadi dasar pendekatan mereka dalam menjaga posisi di panggung internasional. Di tengah dinamika global yang penuh tensi, Jepang hadir sebagai aktor yang tenang namun tetap menunjukkan bahwa kekuatan tidak selalu harus terlihat mencolok untuk bisa efektif.

Jepang memang lebih menonjol dalam diplomasi publik berbasis budaya dibandingkan keterlibatan langsung dalam konflik atau intervensi politik. Alih-alih bersaing secara agresif, Jepang membangun pengaruh global melalui pendekatan halus yang mengandalkan soft power, seperti kuliner, manga, dan anime yang telah mendunia. Budaya Jepang menjadi alat diplomasi yang efektif karena diterima luas oleh berbagai kalangan tanpa memicu sumbu konflik politik. Selain budaya populer, diplomasi budaya Jepang juga diwujudkan melalui berbagai program pertukaran pelajar, festival budaya, dan promosi pariwisata. Semua ini dilakukan dengan pendekatan yang tidak konfrontatif, melainkan mengedepankan kolaborasi dan saling pengertian.  Keberhasilan soft power Jepang yang berakar pada tatemae–honne ini menjadi contoh nyata bagaimana nilai-nilai budaya lokal dapat diintegrasikan ke dalam strategi hubungan luar negeri. Prinsip tatemae–honne membuat diplomasi budaya Jepang terasa tulus dan bersahabat, meskipun tetap diarahkan untuk mencapai tujuan strategis tertentu. 

Kecenderungan Jepang untuk tidak terlibat langsung dalam permasalahan internasional juga memperkuat citra negara ini sebagai aktor yang lebih memilih jalur damai dan diplomasi senyap. Ketika akhirnya Jepang memutuskan untuk turun tangan dalam isu global, mereka hampir selalu menggunakan pendekatan quiet diplomacy, yakni sebuah strategi yang mengutamakan komunikasi tertutup dan negosiasi tanpa sorotan publik. Contoh lain dari quiet diplomacy Jepang selain responnya terhadap tarif Trump, yaitu pada tahun 2020 ketika Jepang menjalankan diplomasi kesehatan melalui donasi vaksin. Berbeda dengan pendekatan Tiongkok yang kerap dikaitkan dengan kepentingan geopolitik melalui Belt and Road Initiative (BRI), Jepang memilih jalur yang lebih tenang. Negara ini memberikan bantuan tanpa konflik politik yang mencolok, namun tetap dengan tujuan strategis, yakni meningkatkan citra nasionalnya dan memperkuat pengaruh di kawasan Asia Tenggara yang sangat penting secara geopolitik (Trung, 2022). Pendekatan ini mencerminkan praktik quiet diplomacy Jepang, yang berakar pada nilai budaya tatemae–honne. Jepang cenderung menahan diri dari menyatakan secara terbuka kepentingan atau ketidaksenangannya, tetapi tetap bertindak sesuai tujuan nasionalnya. Meskipun tidak secara terang-terangan menentang dominasi vaksin Tiongkok, Jepang tetap memposisikan diri sebagai kekuatan yang kompetitif melalui cara yang tidak memicu konflik terbuka. Inilah kekuatan diplomasi senyap Jepang yang bisa membangun relasi dan pengaruh tanpa suara keras, namun dengan dampak yang terasa luas.

Selain berinteraksi dengan aktor negara, Jepang juga mengimplementasikan budaya tatemae–honne dalam praktik quiet diplomacy-nya di berbagai organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pandangan negara-negara lain terhadap gaya diplomasi Jepang di forum internasional seperti PBB dan G7 menunjukkan bahwa Jepang diposisikan sebagai aktor yang mengedepankan pendekatan kolaboratif, hati-hati, dan tidak konfrontatif. Gaya diplomasi ini mencerminkan nilai-nilai budaya Jepang, seperti harmoni, sopan santun, dan penghindaran konflik terbuka—karakteristik utama dari konsep tatemae–honne. Dalam hal ini, tatemae merujuk pada ekspresi publik yang sesuai dengan norma sosial, sementara honne merepresentasikan perasaan atau keinginan pribadi yang sering disembunyikan demi menjaga keharmonisan sosial. Di forum G7, Jepang juga menunjukkan peran aktif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan supremasi hukum. Sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 ke-49 di Hiroshima pada Mei 2023, Jepang memimpin diskusi terkait berbagai tantangan global seperti agresi militer Rusia terhadap Ukraina, krisis iklim, dan dampak pandemi COVID-19. Melalui kepemimpinannya, Jepang mendorong komitmen bersama untuk mempertahankan tatanan internasional yang bebas, terbuka, dan berbasis pada rule of law, serta memperkuat keterlibatan G7 dengan negara-negara berkembang sebagai bagian dari pendekatan inklusif dan strategisnya dalam diplomasi global.

Sebagian orang menilai bahwa budaya honne dan tatemae secara personal cenderung tidak adil karena mendorong seseorang untuk menyembunyikan perasaan dan pendapat asli demi menjaga penampilan luar. Dalam pandangan ini, sikap tersebut bisa dianggap sebagai bentuk kebohongan atau ketidak tulusan, karena apa yang diungkapkan ke publik seringkali tidak mencerminkan isi hati yang sebenarnya. Kekhawatiran ini semakin besar ketika dilihat dari perspektif kesehatan mental, karena menahan perasaan dan tidak mengekspresikan diri secara jujur bisa menimbulkan stres, tekanan batin, bahkan perasaan terisolasi secara emosional. 

Namun, di sisi lain, banyak orang Jepang justru memandang tatemae–honne sebagai bentuk kedewasaan sosial. Budaya ini dianggap sebagai cara yang bijaksana untuk menciptakan harmoni dalam hubungan antarindividu. Dengan tidak langsung mengungkapkan ketidaksetujuan atau emosi negatif, mereka berharap bisa menghindari konflik terbuka dan menjaga perasaan orang lain. Bahkan, sebagian menganggap bahwa “berbohong kecil” demi kenyamanan bersama merupakan bentuk empati dan pengorbanan untuk kebaikan kolektif. Seperti yang dijelaskan oleh Rosidi (dalam Mustafid & Ali, 2023), tindakan menutupi perasaan sejati sering dimaknai bukan sebagai penipuan, melainkan sebagai strategi sosial untuk mempertahankan kedamaian. Selain itu, karena sifatnya yang tertutup dan tidak menonjol, diplomasi senyap Jepang kerap mendapat kritik, baik dari dalam negeri maupun dari komunitas internasional. Banyak pihak menilai bahwa pendekatan ini kurang mendapat pengakuan di mata publik global. Di era informasi yang serba transparan dan cepat, negara-negara lain, seperti Amerika Serikat atau Tiongkok yang sering tampil agresif dan terbuka dalam diplomasi mereka, sehingga mudah mendapatkan perhatian dan pengaruh secara langsung. Sebaliknya, langkah-langkah Jepang kerap luput dari sorotan, sehingga kontribusi atau keberhasilan diplomasi Jepang tidak selalu diakui secara luas. Kritik ini semakin relevan saat kita sedang era media sosial, dimana transparansi skala global dan keterbukaan semakin tinggi. Negara-negara yang mampu menampilkan aksi diplomatik secara terbuka cenderung lebih mudah membangun citra positif dan mendapatkan dukungan internasional. Sementara itu, Jepang, dengan diplomasi senyapnya, kadang dipersepsikan sebagai negara yang kurang berani mengambil posisi tegas dalam isu-isu global, meskipun di balik layar mereka tetap aktif memperjuangkan kepentingan nasional.

Secara keseluruhan, pendekatan diplomasi Jepang yang mengedepankan kehati-hatian serta kemampuan beradaptasi terhadap ekspektasi eksternal mencerminkan implementasi nyata dari prinsip tatemae–honne. Pendekatan ini memungkinkan Jepang menjaga stabilitas hubungan luar negeri dan memperkuat posisinya di kancah internasional tanpa harus terlibat dalam konfrontasi terbuka. Nilai-nilai budaya lokal Jepang secara signifikan mempengaruhi arah dan cara diplomasi dijalankan, menunjukkan bahwa budaya domestik berperan penting dalam membentuk strategi hubungan luar negeri. Karakteristik ini sepatutnya menjadi contoh bagi negara lain untuk mengembangkan pendekatan diplomatik yang selaras dengan identitas dan nilai-nilai nasional masing-masing. Dengan demikian, akan tercipta komunikasi internasional yang lebih seimbang, saling menghargai, dan mencerminkan keragaman budaya politik antaraktor hubungan internasional.

Referensi

Arisanto, P. T., & Wibawa, A. (2021). Perang Dagang Era Donald Trump Sebagai Kebijakan Luar Negeri Adaptif Convulsive Amerika Serikat. Indonesian Journal of International Relations, 5(2), 163-183. http://journal.aihii.or.id/index.php/ijir/article/view/222

Dang, B. H., & Glenn, J. (2022). Japan’s Quiet Power: The case of Tokyo’s vaccine diplomacy to Southeast Asia. Academic Journal of Interdisciplinary Studies, 11(4), 248-257. https://eprints.soton.ac.uk/468045/

Jannah, F. A., & Kusumawati, F. (2023). Sosial Budaya dan Ekonomi di Negara Maju dan Negara Berkembang Dalam Kaitan Pendidikan. RAZIQ: Jurnal Pendidikan Islam, 2(2), 83-87. https://jurnal.diklinko.id/index.php/raziq/article/view/70

Mustafid, M., & Ali, M. (2023). Interaksi Sosial Honne-Tatemae Masyarakat Jepang dalam Drama Series “Gekikaradou” Karya Keisuke Shibata. Mahadaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Budaya, 3(2), 271-280.https://ojs.unikom.ac.id/index.php/mahadaya/article/view/8288

Ministry of Foreign Affairs of Japan. Diplomacy to Defend National Interests through Co-creation with the World. https://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/2024/en_html/chapter3/c030105.html?utm_source

Palandi, E. H. KONSEP BUDAYA AMAE DALAM PERILAKU DAN TINDAK TUTUR BANGSA JEPANG. https://www.researchgate.net/profile/Esther-Palandi/publication/370325077_KONSEP_BUDAYA_AMAE_DALAM_PERILAKU_DAN_TINDAK_TUTUR_BANGSA_JEPANG/links/644ad1dd5762c95ac359356c/KONSEP-BUDAYA-AMAE-DALAM-PERILAKU-DAN-TINDAK-TUTUR-BANGSA-JEPANG.pdf

Palandi, E. H. KONSEP BUDAYA AMAE DALAM PERILAKU DAN TINDAK TUTUR BANGSA JEPANG. https://www.researchgate.net/profile/Esther-Palandi/publication/370325077_KONSEP_BUDAYA_AMAE_DALAM_PERILAKU_DAN_TINDAK_TUTUR_BANGSA_JEPANG/links/644ad1dd5762c95ac359356c/KONSEP-BUDAYA-AMAE-DALAM-PERILAKU-DAN-TINDAK-TUTUR-BANGSA-JEPANG.pdf

Yoshida, N., & Yonezawa, T. (2024). “Honne and Tatemae”: Expression of the Agent’s Hidden Desire Through Physiological Phenomena. The Transactions of Human Interface Society, 26(2), 249-258. https://www.jstage.jst.go.jp/article/his/26/2/26_249/_article/-char/ja/

Vania, C. F. R., & Anggoro, C. W. (2022). Diplomasi publik Jepang terhadap Indonesia menggunakan budaya populer. Global Komunika: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 5(1), 60-67. https://ejournal.upnvj.ac.id/GlobalKomunika/article/view/5408

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More Articles & Posts