Jl. Rs. Fatmawati, Pondok Labu – South Jakarta

fpciupnvj@upnvj.ac.id

@fpciupnvj

Reciprocal Tariff Amerika Serikat: Analisis Efek Sistemik Konflik AS-China terhadap Ekonomi Global

Ditulis oleh Rahma Apasha & Tiara Aisyabella Kasih

Amerika Serikat dan China, dua Negara Adidaya yang sudah tidak asing di telinga kita sebagai negara yang memiliki pengaruh besar dalam berbagai sektor di dunia, termasuk perekonomian global. Jika dianalisis secara historis, sebetulnya China saat masa kepemimpinan Deng Xiaoping dan AS menormalisasi hubungan untuk meningkatkan perdagangan dan investasi nasional pada tahun 1979. Kedua negara tersebut membangun The Joint Commission on Commerce and Trade (JCCT) di tahun 1983 sebagai ruang antar kedua negara untuk membahas masalah perdagangan bilateral. Kemudian pada tahun 1986, China mengajukan permohonan untuk bergabung kembali dengan Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT), sebuah kelompok yang memiliki aturan untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral modern. Namun sayang, proses tersebut tidak berjalan lancar karena insiden protes di Lapangan Tiananmen sehingga negosiasi China untuk masuk ke GATT menjadi terganggu. Setelah banyak lika-liku proses negosiasi, China akhirnya bergabung dengan organisasi tersebut pada Desember 2001. Bergabungnya China tidak hanya diterima begitu saja, tapi ada syarat yang diajukan berupa China harus berkomitmen untuk melakukan serangkaian reformasi ekonomi secara luas. Termasuk memotong tarif barang-barang impor dengan tajam, memberikan perlindungan pada kekayaan intelektual, serta bagaimana transparansi pada hukum dan peraturannya.

Bergabungnya China pada tahun 2001 menjadi rantai pasokan global dengan posisi yang penting di perekonomian dunia, membuat serikat buruh AS dan banyak anggota kongres dari Partai Demokratnya menentang pernyataan Presiden Bill Clinton yang mendukung eksistensi China sebagai roda penggerak ekonomi dan menguntungkan Amerika Serikat. Alasannya karena praktik perlindungan pekerja dan lingkungan di China dikatakan lemah sehingga dikhawatirkan terjadinya praktik serupa di tempat lain. 

Perjalanan hubungan kedua negara ini semakin agresif karena China gagal mematuhi banyak aturan WTO, sehingga Presiden George W. Bush menanggapi perusahaan AS yang memberikan seruaan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik. Melakukan dumping atau memberikan tarif pada barang subsidi yang berasal dari China menjadi salah satu cara yang dilakukan AS. Pemerintahan AS juga melakukan Dialog Ekonomi Strategis (SED) dengan China untuk membahas permasalahan ekonomi yang ada pada tahun 2006. Sesi dialog ini berlanjut hingga masa pemerintahan Presiden Barack Obama tahun 2009 yang saat itu menerapkan perlindungan khusus berupa pada ban impor. Presiden Obama pun mengambil langkah unik, yakni memblokir dua akuisisi China atas rekomendasi Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (CFIUS). Pada tahun 2015, Presiden Obama juga menyelesaikan negosiasi untuk Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Namun, di tahun 2017, eksistensi AS ditarik dari TPP oleh Presiden Trump. Selama masa pemerintahan Presiden Trump, ia mematok tarif yang besar pada barang-barang China yang memicu pembalasan beberapa tahapan dari China, sehingga tarif AS dikenakan pada hampir semua produk impor China. Karena itu juga, Washington dan Beijing mencapai perjanjian perdagangan “Fase Satu”. 

Setelah kepemimpinan Donald Trump digantikan oleh Joe Biden di tahun 2022, AS menerapkan kontrol pada perekonomian dengan lebih ketat, yakni menerapkan patokan tarif seperti yang dilakukan oleh Trump dan berupaya membatasi sektor manufaktur canggih China pada chip komputer. Baru-baru ini juga tepatnya dari tahun 2024 hingga Februari 2025, aplikasi yang berasal dari China yakni TikTok sempat di blokir di AS karena China menolak untuk menjual TikTok kepada AS. Fenomena ‘perang’ antara kedua negara tersebut berlanjut pada bulan Maret hingga April lalu saat Presiden Trump kembali menjabat kedua kalinya, Amerika Serikat kembali melambungkan tarif atas impor dari China dengan tinggi. Kebijakan tarif ini bermula saat Presiden Trump duduk di pemerintahan pada tahun 2018-2020, kemudian dilanjutkan oleh Joe Biden yang masih mengaplikasikan kebijakan tersebut. Lalu di 2025 ini, President Trump kembali melaksanakan kebijakan tersebut. 

Menanggapi fenomena melonjaknya tarif AS, China membuat strategi versinya dengan cara menciptakan kebijakan retaliasi tarif dan diversifikasi pasar ekspor. Dalam konteks perekonomian global, retaliasi merupakan upaya yang dilakukan oleh suatu negara sebagai pembalasan pada kasus perdagangan antar negara. Retaliasi yang dilakukan oleh China mengalami perjalanan yang cukup berkelok karena bisa dikatakan China melakukan ‘saling balas tarif’ dengan Amerika Serikat. Pada awalnya, China dipatok tarif oleh kebijakan reciprocal yang dilakukan oleh Presiden Trump secara progresif sebesar 10% dan dinaikan menjadi 20%. Kemudian pada tanggal 2 April, Presiden Trump menghantam produk China yang memasuki Amerika dengan tarif impor sebesar 34%. Atas kenaikan tarif tersebut, Xi Jinping selaku Presiden China mematok tarif yang sama untuk barang-barang yang datang dari AS pada 10 April. Tidak berhenti di situ, AS membuka tangan menyambut pembalasan tarif dari China dengan mematok tarif sebesar 104% yang berlaku di hari pertama tarif resiprokal diterapkan. Besarnya lonjakan tarif yang ditetapkan AS, China tak tinggal diam sehingga menaikan tarif yang awalnya sebesar 34%, menjadi 84%. Melihat respon yang ditunjukan China kepada mereka dan menganggap bahwa China kurang menunjukan rasa hormat, AS melakukan pembalasan dengan menaikan tarif impor untuk China sebesar 125%. Karena perang tarif berpotensi meningkat dalam artian berbahaya, China mengajukan tuntutan kepada World Trade Organization (WTO). Akhirnya, retaliasi yang dilakukan oleh China berupa mengenakan tarif atas 740 jenis produk impor dari Amerika Serikat sebesar 10% hingga 15%.

Selain retaliasi berupa tarif balasan, China juga melakukan diversifikasi pasar ekspor yang tujuannya untuk mengurangi tingkat ketergantungan China pada pasar tradisional, khususnya Amerika Serikat. Caranya, China memperluas dan mengarahkan kegiatan ekspor komoditas terbaiknya di sektor teknologi dan inovasi, hasil pertanian maupun agrikultur, serta industri manufaktur ke negara-negara di ASEAN, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Diversifikasi pasar ekspor terjadi atas dorongan perjanjian perdagangan, baik secara bilateral maupun multilateral. 

Dari internal negara China sendiri, tarif AS berimplikasi juga pada pertumbuhan ekonomi yang menjadi lambat pada bulan April. Hal tersebut bisa dilihat dari produksi industri dan menurunnya impor karena jumlah permintaan dan tingkat belanja konsumen di dalam negeri terasa lemah. Dampak lainnya yang China dapatkan atas tarif AS adalah strategi untuk mengakselerasikan substitusi ekspor. Jadi, meskipun ekspor barang yang dilakukan China kepada AS menurun lebih dari 20%, pengalihan ekspor ke negara-negara di Asia Tenggara sebagai gantinya mengalami peningkatan yang hampir setara. Kemudian, inisiatif “Made in China 2025” menjadi sebuah kebijakan yang tujuannya untuk meminimalisir tingkat bergantungnya pada teknologi AS. Jika diteropong lagi, Made in China 2025 bisa menjadi inisiatif yang mampu mendorong inovasi pada teknologi sehingga impor teknologi berkurang. Yang menjadi permasalahan dalam inisiatif ini adalah, bagaimana perjalanan ini nantinya apakah China akan berkomitmen dengan kuat di tengah perekonomian global yang sedang berdinamika.

Kebijakan tarif yang kembali diberlakukan oleh Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump pada tahun 2025 telah menimbulkan implikasi luas bagi perekonomian global. Pengenaan tarif tinggi terhadap produk-produk impor dari China menjadi pemicu utama meningkatnya ketegangan perdagangan internasional. Kebijakan ini pada dasarnya merupakan lanjutan dari proteksionisme ekonomi yang sebelumnya sudah dijalankan sejak masa kepemimpinannya pertama kali pada 2018–2020, dan kembali diperkuat saat Trump terpilih kembali. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh AS dan China sebagai pihak utama dalam konflik, tetapi juga menjalar ke seluruh dunia melalui sistem perdagangan yang saling terhubung. Negara-negara yang sangat bergantung pada rantai pasok internasional, baik sebagai eksportir maupun importir, turut merasakan tekanan ekonomi yang signifikan. Ketegangan ini menunjukkan bagaimana kebijakan bilateral dapat memicu efek domino pada tatanan ekonomi global.

Salah satu dampak paling terasa dari kebijakan tarif AS terhadap China adalah terganggunya rantai pasok global yang sudah saling terintegrasi selama bertahun-tahun. Banyak perusahaan multinasional memilih untuk memindahkan fasilitas produksi mereka dari China ke negara lain seperti Vietnam, Indonesia, dan India guna menghindari tarif tinggi. Relokasi besar-besaran ini tidak hanya mengubah peta manufaktur dunia, tetapi juga memicu ketidakseimbangan baru dalam distribusi barang dan jasa, terutama di sektor teknologi, elektronik, dan otomotif. Hal ini terjadi karena kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS terhadap China telah mendorong perusahaan global mencari lokasi alternatif yang dianggap lebih aman secara ekonomi. Namun, dalam skenario tarif balasan (reciprocal tariff), negara-negara seperti Vietnam juga mulai terkena imbas akibat dianggap sebagai jalur ekspor produk China yang “berpindah alamat” (Wildan, 2025). Studi oleh Giesecke & Waschik (2025) juga menunjukkan bahwa negara-negara seperti Vietnam, Kanada, dan Meksiko mengalami penurunan konsumsi riil karena keterkaitannya dalam rantai ekspor-impor global yang terdampak kebijakan tarif AS. Di sisi lain, ketegangan dagang ini turut menciptakan ketidakstabilan di pasar keuangan global. Ketidakpastian kebijakan perdagangan memicu volatilitas tinggi pada nilai tukar mata uang, indeks saham, dan harga komoditas, membuat para investor lebih berhati-hati dan beralih ke aset yang lebih aman seperti emas dan obligasi pemerintah. Situasi ini secara keseluruhan mengikis kepercayaan pasar global dan memperlambat arus investasi, khususnya ke negara-negara berkembang yang sangat mengandalkan kestabilan eksternal untuk menjaga pertumbuhan ekonominya.

Bagi negara-negara berkembang, terutama di kawasan Asia Tenggara, perang tarif AS-China membawa peluang sekaligus tantangan besar. Di satu sisi, relokasi industri dari China memberikan kesempatan untuk memperkuat sektor manufaktur domestik dan meningkatkan arus investasi asing. Negara seperti Vietnam dan Indonesia mulai menarik perhatian investor sebagai alternatif basis produksi global. Namun di sisi lain, banyak negara masih belum memiliki kesiapan infrastruktur dan sistem logistik yang memadai untuk menyerap lonjakan aktivitas ekonomi tersebut. Ketergantungan yang tinggi pada ekspor bahan mentah dan pasar global juga membuat negara-negara ini tetap rentan terhadap fluktuasi eksternal. Tanpa strategi jangka panjang dan koordinasi kebijakan ekonomi yang matang, peluang tersebut bisa berubah menjadi beban baru.

Situasi ini juga mendorong respons dari berbagai aktor internasional, baik secara multilateral maupun regional. Lembaga seperti World Trade Organization (WTO) dan G20 berupaya mencari solusi melalui forum dialog dan penyelesaian sengketa, meskipun efektivitas mereka dalam meredakan konflik dagang semakin dipertanyakan. Banyak negara kemudian memilih untuk memperkuat integrasi regional melalui kerja sama perdagangan seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dan CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership). Perjanjian-perjanjian ini dirancang untuk memperluas akses pasar, meningkatkan kerja sama investasi, serta meminimalisir risiko dari ketergantungan pada AS dan China. Pergeseran ini mencerminkan transformasi geopolitik di mana pusat gravitasi ekonomi dunia semakin mengarah ke Asia, khususnya kawasan Asia-Pasifik. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam era ketidakpastian global, kerja sama regional menjadi strategi alternatif untuk menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.

Hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China yang awalnya dibangun untuk saling menguatkan perdagangan, kini berubah menjadi ajang rivalitas ekonomi akibat kebijakan tarif tinggi dari AS sejak era Trump. Kebijakan ini memicu retaliasi dari China serta mendorong perubahan strategi ekonomi internal, seperti Made in China 2025 dan diversifikasi pasar ekspor. Ketegangan ini nggak cuma berdampak pada dua negara, tapi juga mengguncang sistem ekonomi global lewat gangguan rantai pasok, perpindahan produksi, serta fluktuasi pasar keuangan yang menurunkan kepercayaan investor. Negara-negara berkembang seperti di ASEAN berada dalam posisi strategis, namun tetap menghadapi tantangan struktural yang harus diantisipasi.

Secara keseluruhan, perang tarif ini menunjukkan bahwa kebijakan proteksionis unilateral bisa menciptakan efek sistemik dan ketidakstabilan jangka panjang. Oleh karena itu, peran organisasi internasional seperti WTO, serta penguatan kerja sama regional seperti RCEP dan CPTPP menjadi penting dalam menciptakan kestabilan dan arah baru dalam perdagangan global. Di tengah dinamika geopolitik yang terus berubah, kolaborasi multilateral dan kesiapan domestik akan menjadi kunci untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Referensi

(Sumber bacaan terkait topik yang dibahas berformat APA 7th)

Bloomberg News. (2025, Mei). Ekspor China Justru Naik Signifikan Jelang Penerapan Tarif AS. Bloomberg Technoz. https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/68303/ekspor-china-justru-naik-signifikan-jelang-penerapan-tarif-as 

CNN Indonesia. (2025, April 10). Fakta-Fakta Saling Balas Tarif Dagang AS-China. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250410111745-92-1217374/fakta-fakta-saling-balas-tarif-dagang-as-china 

Dwi, F. S., & Mega, M. S. (2025). Dampak kebijakan tarif AS terhadap pertumbuhan ekonomi global pada 2025. Lentera: Multidisciplinary Studies, 3(3), 277–284. https://lentera.publikasiku.id/index.php 

Giesecke, J., & Waschik, R. (2025). Economic analysis of U.S. tariffs introduced over March–April 2025 (Centre of Policy Studies Working Paper No. G-352). Centre of Policy Studies, Victoria University. https://mail.copsmodels.com/ftp/workpapr/g-352.pdf 

Hardjanti, D. K. (2013). Retaliasi World Trade Organization (WTO) sebagai bentuk perlindungan hukum dalam ranah perdagangan internasional (Tesis Magister, Universitas Gadjah Mada). Repositori UGM. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/63615

Interesse, G. (2025, 29 Mei). Bagaimana Tarif 2025 Mengubah Lanskap Ekspor Tiongkok. China Briefing. https://www.china-briefing.com/news/how-2025-tariffs-are-changing-chinas-export-landscape/ 

NTD Indonesia. (2025, Mei). Ekonomi China Melambat karena Tarif AS. https://ntdindonesia.com/fokus/ekonomi-china-melambat-akibat-tarif-a-s/

Putra, A., Ahya, F., Prakoso, S. G., & Devi, R. S. (2024). ” Made in China 2025 Initiative” and Dual Circulation Economy: Reducing Dependence on US Technology. Global Strategis, 18(2). 

Siripurapu, A., & Berman, N. (2025, 1 April). The Contentious U.S.-China Trade Relationship. Council on Foreign Relations. https://www.cfr.org/backgrounder/contentious-us-china-trade-relationship 

Wildan, Muhamad. (2025, Maret 12). Retaliasi China: 740 Barang Asal AS Kena Tarif Bea Masuk 10-15 Persen. DDTCNews. https://news.ddtc.co.id/berita/internasional/1809397/retaliasi-china-740-barang-asal-as-kena-tarif-bea-masuk-10-15-persen 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More Articles & Posts