Oleh Arie Petra Levy
Terpilihnya Trump kembali sebagai Presiden Amerika Serikat di tahun 2025 kembali menimbulkan dinamika dalam hubungan internasional. Trump, yang dikenal sebagai presiden yang populis, dan anti-globalis, kerap kali menggaungkan narasi kebijakan yang bercorak “America First”. Pada periode pertama nya sebagai Presiden AS pada tahun 2017-2021, ia sudah pernah melakukan kebijakan tarif yang menimbulkan fenomena “Perang Dagang” dengan China. Kebijakan ini diambil atas dasar defisit neraca dagang AS dengan China yang sudah terjadi sejak lama. Trump sendiri sangat konsisten mengenai narasi tarif demi mengurangi defisit neraca AS, sembari mengupayakan peningkatan produksi dalam negeri AS. Gagasan tarif ini pun sudah ia sampaikan sejak tahun 1980 an saat ia masih belum aktif sebagai politikus AS.
Pada periode kedua nya, Trump kembali hadir dengan gagasan yang sama sejak dulu, yaitu, tarif sebagai jawaban defisit neraca dagang. Tepat pada 2 April 2025, Trump mengumumkan kebijakan Reciprocal Tarif atau tarif timbal balik kepada negara-negara dunia, bahkan kepada negara-negara sekutunya. Indonesia sebagai salah satu mitra dagang AS juga tak luput dari kebijakan ini. Menurut Kemendag (2025), Indonesia mendapatkan tarif impor sebesar 32%, dan bahkan untuk beberapa komoditas seperti tekstil dan garmen hingga di angka 47%. Tarif ini tentu akan sangat memukul industri lokal karena dengan ini produk ekspor Indonesia akan lebih sulit bersaing akibat dari harga yang meningkat. Berdasarkan data USTR (2025) pada 2024 Indonesia mendapatkan surplus dagang dari AS sebesar $17,9 miliar atau sebesar Rp 300,8 triliun. Angka ini meningkat 5.4% dari tahun sebelumnya.

(Ilustrasi Pribadi berdasarkan data USTR 2025)
Ketimpangan nilai ekspor-impor antara AS dengan Indonesia dilihat Trump sebagai sebab dari praktik dagang yang tidak adil. Berdasarkan press release White House (2025), Indonesia telah melakukan praktik dagang yang dirasa AS kurang adil, seperti penerapan tarif terhadap produk etanol, di mana Indonesia menerapkan tarif sebesar 30%, sementara AS hanya menerapkan tarif sebesar 2,5% saja. Berdasarkan realita defisit neraca dagang dan praktik dagang yang di rasa kurang adil inilah, yang mendorong AS menetapkan tarif 32% kepada Indonesia. Angka itu sendiri didapat berdasarkan perhitungan defisit neraca dagang AS terhadap negara lain. CSIS (2025), menyatakan Reciprocal Tariff ini memiliki rumus: defisit dagang AS dibagi impor AS dari negara lain, lalu hasilnya akan dibagi dua, di mana AS menyatakan itu sebagai “discounted reciprocal tariff”. Jika berdasarkan rumus tersebut, maka perhitungan tarif yang didapatkan Indonesia adalah:
Defisit AS ($17,9 miliar) dibagi impor AS ($28,1 miliar), dikali 100%, lalu dibagi dua. Maka hasilnya: 17,9 / 28,1 = 0,637 × 100% = 63,7%, lalu 63,7 / 2 = 31,85%, dan jika dibulatkan menjadi 32%, yang menjadi tarif yang dikenakan AS kepada Indonesia.
Berangkat pada realita ini, maka dapat dipahami tujuan Administrasi Trump pada kebijakan tarif ini tidak hanya sekedar upaya proteksionis semata, namun merupakan langkah Trump agar negara-negara mitra dagang AS yang memiliki surplus dagang yang besar harus juga melakukan impor terhadap produk-produk AS, sehingga neraca dagang yang ada tidak timpang. Langkah melakukan impor terhadap produk-produk AS tampaknya merupakan langkah yang paling ampuh sejauh ini, karena sebelumnya pada 2 April 2025, Vietnam yang dikenakan tarif timbal balik sebesar 46% berupaya melakukan negosiasi dengan AS dengan menawarkan menghapus semua tarif kepada produk AS. Namun, penawaran ini justru ditolak AS, di mana Penasehat Ekonomi dan Manufaktur Presiden AS, Peter Navarro, menilai tarif timbal balik ini tidak hanya sebagai respon terhadap tarif negara lain kepada produk AS, tapi juga mencakup “Non-tariff Cheating” yang mana merujuk pada skema subsidi dalam negeri, kouta, dan lainnya. Namun, jika rumus perhitungan tarif Trump menggunakan variabel defisit dagang AS, maka seharusnya besaran tarif AS dapat ditekan dengan cara menyeimbangkan neraca dagang yang ada dengan melakukan impor terhadap produk AS.
Indonesia dalam perihal ini, memiliki kesempatan untuk lebih memperluas kerja sama nya dengan Amerika Serikat, khususnya pada sektor keamanan dan pertahanan. AS sendiri merupakan partner strategis Indonesia dalam sektor ini, di mana berbagai jenis alutsista pabrikan AS dioperasikan oleh TNI, khususnya pada aset udara. Indonesia memiliki rekam jejak yang cukup panjang dalam pengoperasian alutsista udara pabrikan AS, seperti: P-51 Mustang, B-25 Mitchell, B-26 Invader. C-47 Dakota dan C-130 yang menjadi aset udara penting bagi TNI AU pada dekade 50-60an bersama dengan alutsista canggih lainnya dari Uni Soviet seperti Mig-15, Mig-17, Mig-21, dan Tu-16. Namun, pasca insiden G30S PKI, hubungan antara Indonesia dengan Uni Soviet menjadi renggang.
Permasalahan pembayaran utang pembelian alutsista sebelumnya pun turut serta memperburuk hubungan antara Indonesia dengan Uni Soviet, yang berimplikasi kepada pemberian embargo Uni Soviet kepada Indonesia. Hal ini membuat kekuatan udara Indonesia pada saat itu menjadi “lumpuh” akibat dari aset udara asal Soviet yang tidak bisa dioperasikan karena tidak adanya suku cadang baru. Barulah pada dekade 70-90 an, pesawat pabrikan AS kembali “membangkitkan” kekuatan udara yang sempat “lumpuh’ itu, di mana hadirnya berbagai jenis pesawat tempur modern di era itu seperti: F-86 Sabre, F-5 Tiger, A-4 Skyhawk, dan F-16 Fighting Falcon memberikan dongkrakan kekuatan baru yang kembali menempatkan TNI AU sebagai kekuatan udara yang patut disegani di kawasan Asia Tenggara.
Lalu, bagaimana kebijakan Reciprocal Tariff Trump ini dapat Indonesia manfaatkan untuk lebih memperkuat hubungan dan kerja sama militer nya dengan AS. Dengan melakukan pembelian alutsista canggih asal AS, maka Indonesia seharusnya mampu untuk paling tidak mengurangi surplus dagangnya dengan AS. Dengan angka surplus yang berkurang ,maka seharusnya AS akan melakukan perhitungan kembali terhadap tarif yang sudah ada dan tentu akan mengurangi besaran dari tarif yang sudah diterima Indonesia pada saat ini. Fenomena mengaitkan 1 isu dengan isu lain (dalam konteks ini ekonomi dengan pertahanan keamanan) dalam hubungan internasional pun sebetulnya bukan fenomena yang baru. Issue Linkage dalam HI merupakan konsep yang dapat Indonesia gunakan dalam merespon kebijakan Reciprocal Tariff Trump, di mana Indonesia akan mencoba mengaitkan isu ekonomi, yaitu tarif timbal balik ini, dengan sektor keamanan pertahanan melalui “Arms Trade” untuk menekan surplus dagang Indonesia dengan AS. Opsi ini sangat patut diperhitungkan karena penguatan kerja sama militer Indonesia – AS melalui pengadaan alutsista tidak hanya mampu mengimbangkan neraca dagang, namun juga sejalan dengan program modernisasi TNI yang sedang Indonesia terapkan. Minimum Essential Force (MEF) sebagai program modernisasi TNI merupakan panduan dasar bagi Kementerian Pertahanan dalam melakukan pengadaan-pengadaan alutsista guna memenuhi kebutuhan alutsista TNI, hingga dalam rangka peremajaan aset yang sudah memasuki masa purna tugas. Menurut Beni Sukadis dalam Sembiring, pengamat militer lembaga studi strategis (2020), dalam target Minimum Essential Force (MEF) TNI ditargetkan memiliki kekuatan minimum yang meliputi 160 jet tempur, 15 kapal selam, dan 48 helikopter canggih. Namun, Taylor & Francis dalam buku The Military Balance (2024) melaporkan bahwa komposisi kekuatan Indonesia masih belum memenuhi target Minimum Essential Force. Dalam laporannya, pesawat jet tempur non-latih yang dimiliki TNI AU masih berjumlah 49 unit dengan rincian: 7 unit F-16A, 2 unit F-16B, 19 unit F-16C, 5 unit F-16D, 2 unit Su-27SK, 3 unit Su-27 SKM, 2 unit Su-30MK, dan 9 unit Su-30MKM.
Jumlah jet tempur yang tersedia ini, selain jauh dari target Minimum Essential Force (MEF), juga kerap kali mengalami permasalahan dalam kesiapan operasi. Suridin et al. (2022) menemukan bahwa aset udara yang dimiliki TNI AU saat ini mengalami isu kesiapan beroperasi yang signifikan, di mana hanya sekitar 28% dari pesawat baik jet maupun turboprop, tempur maupun latih TNI AU berada dalam kondisi siap beroperasi. Realita ini menunjukan bahwasanya modernisasi kekuatan militer Indonesia, khususnya pada kekuatan udara, sangatlah diperlukan, terlebih jika mengacu pada luas nya wilayah teritorial dari Indonesia yang harus dijaga.
Dalam Issue Linkage Indonesia dapat mencoba untuk memanfaatkan beberapa rencana pengadaan alutsista yang sudah terjalin, seperti F-15EX atau F-15ID, serta helikopter S-70 Blackhawk. Rencana pengadaan F-15EX/ID sendiri mulai mencuat sejak akhir tahun 2020, ketika Indonesia menyampaikan ketertarikannya terhadap jet tempur superioritas udara varian terbaru dari keluarga F-15 series. Rencana ini cukup mengejutkan banyak pihak, karena keinginan Indonesia untuk membeli F-15 varian terbaru direspon positif oleh pemerintah AS, yang memberikan “lampu hijau” kepada pemerintah Indonesia untuk melanjutkan pengadaannya. Padahal, banyak pihak yang sempat meragukan bahwa pemerintah AS akan mengizinkan pesawat canggih nya ini untuk dibeli oleh Indonesia, yang notabene bukan sekutu formal AS. Dalam Rapim (Rapat Pimpinan) Tentara Nasional Indonesia di tahun 2022, F-15EX sudah dibahas sebagai salah satu dari program – program utama pembangunan kekuatan TNI 2021-2024 untuk matra udara. Namun, hingga memasuki tahun 2025, F-15EX masih berada pada tahap penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) yang dilakukan pada tahun 2023 oleh Prabowo Subianto, yang pada saat itu masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia. MoU ini ditandatangani di The Boeing Company, St. Louis, Missouri, Amerika Serikat. Dalam MoU tersebut Indonesia berencana melakukan pengadaan F-15EX sebanyak 36 unit dengan alokasi dana senilai $13,9 miliar, sesuai dengan paket penawaran Boeing kepada Indonesia (Perdana, 2023). Namun, dalam perjalanannya, rencana pengadaan ini mengalami perubahan yang awalnya direncanakan sebanyak 36 unit dikurangi menjadi 24 unit F-15EX.
F-15EX sendiri dapat mendongkrak kapabilitas tempur dan daya gentar atau deterrence Indonesia, tidak hanya dalam kawasan Asia Tenggara, tetapi juga di dalam kawasan Asia, bahkan Indo-Pasifik, yang mana kemampuan ini sangat Indonesia perlukan di tengah gejolak geopolitik di dalam kawasan Indo-Pasifik yang semakin memanas. Isu-isu seperti Selat Taiwan, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, hingga rivalitas antara China dengan Amerika Serikat, mendorong negara-negara di kawasan Indo-Pasifik untuk mau tidak mau memperkuat kemampuan militer nya. Dengan hadirnya F-15EX, TNI AU tidak hanya memiliki salah satu jet tempur superioritas udara tercanggih saat ini, tetapi juga memperoleh kemampuan pengeboman udara yang handal bagi TNI AU. Sebagai perbandingan jika pada dekade 50 – 60an, TNI AU diperkuat oleh Tu-16, pembom strategis yang memiliki muatan maksimum sebesar 9.000kg. Maka jika F-15EX resmi dioperasikan, TNI AU akan memiliki pesawat jet tempur superioritas udara yang juga mampu berperan sebagai “Bomb Truck”, karena memiliki muatan maksimum hingga 13.380kg. Kehadiran F-15EX juga akan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jet tempur tercanggih kedua di Asia Tenggara, hanya berada di bawah F-35 yang dioperasikan oleh Republic Singapore Air Force (RSAF). Kendati demikian, F-15EX ini mampu menjadi “pembuka jalan” bagi Indonesia untuk memiliki F-35 di masa mendatang. Pasalnya, Indonesia sebelumnya pada tahun 2020 juga sempat menyatakan ketertarikannya terhadap jet tempur F-35, namun Pemerintah AS tidak mengizinkan upaya tersebut, dan menawarkan agar TNI AU terlebih dahulu mengoperasikan jet tempur generasi ke 4.5 sebelum mengoperasikan jet tempur generasi ke 5 seperti F-35. F-15EX sendiri merupakan jet tempur generasi ke 4.5 yang berarti jika pengadaan ini berjalan efektif dan TNI AU sudah mengoperasikan pesawat tersebut, maka kemungkinan pengadaan F-35 di masa depan akan lebih mungkin untuk direalisasikan.
Lalu, bagaimana jika Indonesia memilih mengaktifkan dan mengefektifkan kontrak pengadaan F-15EX dengan tujuan Issue Linkage guna menurunkan besaran Reciprocal Tariff yang telah diterima Indonesia sebelumnya? Kembali mengacu pada rumus yang digunakan oleh Amerika Serikat dalam merumuskan besaran tarif timbal balik kepada negara-negara mitra dagang yang mengalami surplus dagang, maka variabel defisit dagang AS atau surplus negara lain terhadap AS akan menjadi point krusial, melalui pengadaan ini Indonesia dapat mengurangi besaran surplus dagangnya kepada AS.
Pengadaan F-15EX yang semula direncanakan sebanyak 36 unit, mengalami perubahan, yaitu penurunan menjadi 24 unit, dimana dari 24 unit F-15EX ini diperkirakan akan memakan biaya sebesar $8 miliar. Estimasi angka ini didapatkan berdasarkan informasi dari informan industri (Syamsul Azhar, 2025). Jika kontrak ini efektif dan berjalan, maka surplus dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat yang awalnya sebesar $17,9 miliar akan berkurang menjadi $9,9 miliar atau sebesar Rp 166,4 triliun. Penurunan surplus dagang ini dapat Indonesia manfaatkan untuk melakukan renegosiasi atau negosiasi ulang kepada Pemerintah Amerika Serikat untuk kembali menghitung besaran tarif timbal balik yang Indonesia dapatkan. Berdasarkan rumus yang ada, maka estimasi besaran tarif timbal balik yang Indonesia dapatkan pasca Pengadaan F-15EX dapat dihitung sebagai berikut:
Defisit dagang AS ($9,9 miliar) dibagi impor AS ($28,1 miliar), dikalikan 100%, kemudian dibagi dua: 9,9 / 28,1 = 0,352 × 100% = 35,2%, lalu 35,2 / 2 = 17,6%. Dengan demikian, jika pengadaan ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai instrumen Issue Linkage dalam merespon kebijakan Reciprocal Tariff Trump, maka dapat diperkirakan bahwa besaran tarif yang akan dikenakan AS kepada Indonesia akan menurun menjadi sekitar 17-18%, menjadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan tarif awal yang AS berikan di angka 32%.
Kebijakan Reciprocal Tariff yang diluncurkan oleh Presiden Trump pada awal tahun 2025 memang menjadi ancaman dan tantangan, tidak hanya bagi Indonesia, namun bagi negara-negara di seluruh dunia. Namun, bukan berarti Indonesia tidak memiliki strategi yang dapat dimanfaatkan dalam merespon kebijakan tarif tersebut. Melalui konsep Issue Linkage dalam studi Hubungan Internasional, Indonesia dapat mengaitkan isu ekonomi dengan isu pertahanan keamanan sebagai alat atau strategi dalam menghadapi tarif tersebut. Pengadaan alutsista seperti F-15EX dari Amerika Serikat memiliki potensi signifikan dalam mengurangi surplus dagang Indonesia terhadap AS, yang pada akhirnya dapat berimplikasi pada penurunan besaran tarif. Lebih dari itu, langkah ini juga dapat membantu Pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan program Minimum Essential Force (MEF) yang berperan sebagai pedoman modernisasi militer Indonesia. Sehingga melalui strategi ini Indonesia justru berpeluang mendapatkan manfaat lebih dari situasi yang awalnya tidak ideal. Dengan demikian, Issue Linkage antara Reciprocal Tariff dan Arms Trade dapat menjadi opsi diplomatik yang realistis dan strategis dalam menghadapi permasalahan ini sembari menjaga hubungan strategis antara Indonesia-AS terkhususnya pada masa Administrasi Trump.
Referensi
The White House. (2025). Regulating Imports with a Reciprocal Tariff to Rectify Trade Practices that Contribute to Large and Persistent Annual United States Goods Trade Deficits. Diakses pada 16 April 2025 dari https://www.whitehouse.gov/presidential-actions/2025/04/regulating-imports-with-a-reciprocal-tariff-to-rectify-trade-practices-that-contribute-to-large-and-persistent-annual-united-states-goods-trade-deficits/
Tankersley, J., & Landler, M. (2019). Trump’s Love for Tariffs Began in Japan’s ’80s Boom. The New York Times. Diakses pada 17 April 2025 dari https://www.nytimes.com/2019/05/15/us/politics/china-trade-donald-trump.html
Kemendagri (2025). Trump Tetapkan Tarif Impor 32 Persen Untuk Indonesia.. Kemendag.go.id. Diakses pada 17 April 2025 dari https://www.kemendag.go.id/berita/pojok-media/trump-tetapkan-tarif-impor-32-persen-untuk-indonesia
USTR (2025) Indonesia Trade Summaru. United States Trade Representative. Diakses pada 18 April 2025 dari https://ustr.gov/countries-regions/southeast-asia-pacific/indonesia#:~:text=The%20U.S.%20goods%20trade%20deficit,($923%20million)%20over%202023.
Harithas, B., Brown, E., & Mouradin, C., (2025) Three points on Trump’s “Reciprocal” tariffs. Diakses pada 18 April 2025 dari. https://www.csis.org/analysis/three-points-trumps-reciprocal-tariffs
Pound, J. (2025). Peter Navarro says Vietnam’s 0% tariff offer is not enough: “It’s the nontariff cheating that matters.” CNBC. Diakses pada 18 April 2025 dari https://www.cnbc.com/2025/04/07/peter-navarro-says-vietnams-0percent-tariff-offer-is-not-enough-its-the-non-tariff-cheating-that-matters.html
Hananto, A. (2015). Jejak udara TNI Angkatan Udara. Good News From Indonesia. Diakses pada 18 April 2025 dari https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/04/09/jejak-udara-tni-angkatan-udara
Toenshoff, C. L. (2024). Defensive issue linkage: exploring the origins of environmental content in trade agreements. Environmental Politics, 33(6), 953–975. https://doi.org/10.1080/09644016.2024.2310475
Sembiring, E. K. (2024). Tantangan pencapaian target kekuatan pokok minimal TNI. kompas.id. Diakses pada 18 April 2025 dari https://www.kompas.id/baca/opini/2024/04/16/tantangan-pencapaian-target-kekuatan-pokok-minimal-tni
Taylor & Francis (2024) The Military Balance 2024. Studies, I.I. for S. https://doi.org/10.4324/9781003485834.
Sudirin, S., Darmawan, W. B., & Hendra, H. (2022). Peran TNI AU Dalam Manajemen Pertahanan Udara (Studi pada Kohanudnas dalam menggunakan Sishanudnas). Aliansi: Jurnal Politik, Keamanan Dan Hubungan Internasional, 1(1), 63-70.
Octaviar, B., et al,. (2021). PROSIDING RAPIM TNI 2021. In PROSIDING RAPIM TNI 2021.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2025). Menhan Prabowo Perkuat TNI Melalui Pembelian 24 Pesawat Tempur F-15EX Baru dari AS. Diakses pada 18 April 2025 dari https://www.kemhan.go.id/2023/08/22/menhan-prabowo-perkuat-tni-melalui-pembelian-24-pesawat-tempur-f-15ex-baru-dari-as.html
Azhar, S.,. (2025). Indonesia Percepat Pembelian F-15 EX Sebagai Bahan Negosiasi Tarif dengan AS. Kontan.co.id. Diakses pada 20 April 2025 dari https://internasional.kontan.co.id/news/indonesia-percepat-pembelian-f-15-ex-sebagai-bahan-negosiasi-tarif-dengan-as
Tinggalkan Balasan