Jl. Rs. Fatmawati, Pondok Labu – South Jakarta

fpciupnvj@upnvj.ac.id

@fpciupnvj

Piala Oscars ke-97: Ketimpangan Gender dan Snubs yang Mengakar

Ditulis oleh Aulia Rasel Widodo & Syifana Sherry Kamilannisa

Satu malam, satu panggung, dan satu momen yang bisa mengubah segalanya. Gemerlap Hollywood merupakan tempat impian diwujudkan, tepuk tangan menggema, dan kisah-kisah abadi terukir dengan hadirnya Oscars sebagai puncak tertinggi dalam industri film. Oscars tidak hanya acara penghargaan, tetapi juga puncak kejayaan sineas dan perwujudan mimpi dalam sinema. Sorotan lampu dan karpet merah ikonik menyimpan sejarah panjang yang menjadikan ajang ini lebih dari sekadar pesta glamor. Sejak pertama kali digelar pada 16 Mei 1929 oleh Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS), Oscars telah menjadi tolak ukur prestasi, standar kejayaan, dan perayaan bagi mereka yang berhasil mengubah layar menjadi mahakarya. 

Malam itu, sebuah perjamuan eksklusif berlangsung di Hotel Roosevelt, Los Angeles, dengan atmosfer yang penuh harapan dan antisipasi. Tidak ada siaran langsung, tidak ada kejutan yang menggema di atas panggung, hanya 270 tamu yang telah mengetahui nama-nama pemenang jauh sebelum malam itu tiba. Begitulah awalnya. Sebuah malam yang intim dan sederhana, yang tanpa disadari akan menjadi cikal bakal tradisi megah yang mengubah wajah industri film. Seiring waktu, Oscars bertransformasi dari acara tertutup menjadi fenomena global. Kini, jutaan pasang mata di seluruh dunia menyaksikannya setiap tahun. Setiap pidato kemenangan dapat menginspirasi generasi baru, busana yang melintas di karpet merah menjadi standar mode global, dan momen-momen tak terduga kerap menciptakan legenda yang diingat sepanjang masa. 

Oscars lahir dengan satu tujuan utama, yaitu memberikan penghormatan tertinggi bagi sineas yang telah menghadirkan mahakarya tak terlupakan, mengabadikan kisah dalam bingkai sinema, dan mengubah cara dunia melihat film. Trofi emas berbentuk pria yang berdiri di atas gulungan film merepresentasikan dedikasi, kreativitas, dan inovasi yang menghidupkan industri ini. Memenangkan Oscar berarti mendapatkan pengakuan tertinggi dalam industri perfilman. Katharine Hepburn, misalnya, memenangkan empat Academy Awards untuk Aktris Terbaik, sebuah rekor yang belum terlampaui. Demikian pula, Meryl Streep memegang rekor nominasi Oscar terbanyak dengan total 21 nominasi, memenangkan tiga di antaranya. Seringnya memenangkan Oscar berkontribusi pada status mereka sebagai legenda Hollywood, tetapi kehebatan mereka juga dibangun dari konsistensi, keberagaman peran, serta pengaruh jangka panjang dalam industri film. Penghargaan ini tidak hanya menjadi simbol kesuksesan, tetapi juga memberikan kredibilitas serta peluang profesional yang lebih besar bagi para pemenangnya. Misalnya, aktor atau aktris yang memenangkan atau bahkan dinominasikan untuk Oscar kerap mengalami peningkatan signifikan dalam pendapatan per film mereka. Kemenangan Oscar juga dapat membuka peluang untuk proyek-proyek besar berikutnya, menjadi batu loncatan yang mengubah karier seorang aktor atau sutradara, atau bahkan mengangkat sebuah film ke panggung dunia. Oscars menjadi mercusuar bagi industri film, menetapkan standar keunggulan, dan merekam denyut perubahan zaman dalam setiap adegan yang diabadikan di layar lebar. 

Oscars telah berevolusi. Mencerminkan dinamika industri film yang terus berkembang dan menciptakan sejarah baru setiap tahunnya. Pemenang seperti ”Everything Everywhere All at Once” (2023) dan ”Parasite” (2020) menunjukkan bagaimana selera dan apresiasi terhadap sinema semakin luas dan inklusif. Kategori penghargaan bertambah, sistem voting diperbarui, dan berbagai kontroversi mendorong reformasi yang mengubah wajah acara ini. Salah satu titik penting dalam evolusi Oscars adalah diperkenalkannya kategori Best Animated Feature pada tahun 2002, membuka jalan bagi film animasi untuk berdiri sejajar dengan film live action dalam hal pengakuan dan prestise. Proses pemilihan pemenang pun mengalami berbagai perubahan seiring waktu. Jika dulu hanya segelintir orang yang memiliki hak suara, kini lebih dari 10.000 anggota AMPAS dari berbagai latar belakang industri film terlibat dalam proses seleksi. Seiring waktu, Oscars terus berkembang, tetapi pertanyaan besar tetap menggantung: apakah pengakuan yang diberikan benar-benar mencerminkan keunggulan tanpa batas atau masih ada tembok yang sulit ditembus bagi sebagian orang? Oscars 2025 mungkin menjadi momen bagi industri untuk meninjau kembali siapa yang mendapatkan tempat di panggung ini, terutama bagi mereka yang selama ini harus berjuang lebih keras untuk diakui.

Selama hampir satu abad, panggung Oscars menjadi saksi bagi banyak perubahan dalam industri film, tetapi satu hal yang nyaris tak berubah adalah dominasi laki-laki dalam kategori Best Director dan penghargaan teknis. Sejak penghargaan ini pertama kali diberikan pada 1929, lebih dari 90 piala untuk kategori penyutradaraan telah dianugerahkan, dan hanya tiga di antaranya yang jatuh ke tangan perempuan. Kathryn Bigelow membuka jalan dengan kemenangannya pada 2010 untuk “The Hurt Locker”, disusul oleh Chloé Zhao dengan “Nomadland” (2021), dan Jane Campion dengan “The Power of the Dog” (2022). Namun, tiga kemenangan dalam 95 tahun bukanlah kemajuan yang cukup untuk mencerminkan talenta perempuan dalam industri ini. 

Ketimpangan semakin terlihat jika menilik daftar nominasi. Hingga 2024, hanya sembilan perempuan yang pernah masuk nominasi Best Director, sementara dalam banyak kesempatan, sutradara perempuan dengan karya yang diakui secara kritis dan sukses besar di box office tetap luput dari perhatian Academy. Ketimpangan ini juga tercermin dalam data rilisan film tahun 2024, di mana dari 155 film yang tercatat, hanya 25 film (sekitar 16,1%) yang disutradarai oleh perempuan, sementara sisanya, yaitu 130 film (83,9%), disutradarai oleh laki-laki. Hal ini berlanjut ke nominasi Best Director di Oscars 2024, yang dari lima nominasi, hanya satu diberikan kepada sutradara perempuan, yaitu Justine Triet (20%). Meskipun persentase ini sedikit lebih tinggi dibandingkan jumlah film yang disutradarai perempuan, dominasi laki-laki dalam industri tetap sangat nyata, baik dalam jumlah film yang diproduksi maupun pengakuan di ajang penghargaan bergengsi seperti Oscars. Greta Gerwig menjadi contoh nyata dari fenomena ini. “Lady Bird” (2017) memberinya satu-satunya nominasi sutradara dalam kariernya, meskipun film tersebut dipuji sebagai salah satu coming of age terbaik dalam sejarah modern. “Little Women” (2019), yang mendapatkan nominasi Best Picture dan memenangkan Best Costume Design, tidak membawanya ke kategori penyutradaraan. Pada 2024, “Barbie”, film yang menghasilkan lebih dari $1,4 miliar dan menjadi fenomena budaya global, kembali membuat Gerwig tersingkir dari nominasi Best Director, meskipun film tersebut mendapat delapan nominasi lainnya. 

Kategori teknis pun menunjukkan pola yang serupa. Sepanjang sejarah Oscars, hanya tiga perempuan yang pernah dinominasikan untuk Best Cinematography, yaitu Rachel Morrison untuk “Mudbound” (2018), Ari Wegner untuk “The Power of the Dog” (2022), dan Mandy Walker untuk “Elvis” (2023). Namun, hingga 2025, belum ada perempuan yang memenangkan penghargaan ini. Sementara itu, dalam kategori penyuntingan, suara, dan efek visual, daftar pemenang hampir sepenuhnya didominasi oleh laki-laki, meskipun perempuan telah memainkan peran penting dalam aspek-aspek teknis perfilman sejak era Hollywood klasik. Bias struktural dalam industri film tidak hanya soal siapa yang naik ke panggung penghargaan, tetapi juga siapa yang diberi ruang untuk membuktikan diri. Dalam sistem yang masih berat sebelah, kepercayaan terhadap sutradara laki-laki kerap diiringi dengan anggaran besar, kebebasan artistik, dan jalur yang lebih mudah menuju pengakuan. Di sisi lain, perempuan harus melangkah lebih jauh, berjuang lebih keras, dan membuktikan diri berulang kali untuk mencapai level yang sama. Menurut laporan Celluloid Ceiling dari Center for the Study of Women in Television & Film, hanya 12% dari 100 film terlaris di Hollywood pada 2023 yang disutradarai oleh perempuan. Angka yang meskipun meningkat, masih jauh dari kata setara. Namun, kemajuan ini belum sepenuhnya stabil. Pada tahun 2021, partisipasi sutradara perempuan dalam produksi film justru mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa akses dan kesempatan bagi perempuan di industri ini masih belum merata. 

Adanya ketidakmerataan kesempatan bagi para perempuan tidak hanya dialami oleh para director ataupun kru film, tetapi juga oleh para aktris. Glenn Close diketahui belum pernah sekali pun memenangkan piala Oscars, meskipun telah memasuki nominasi sebanyak 8 kali dengan sejumlah filmnya yang tergolong sukses, seperti “Fatal Attraction”, “The Wife”, dan “Dangerous Liaisons”. Pengalaman yang serupa turut dialami oleh Annette Bening yang diabaikan potensinya meski ia berhasil menunjukkan kemampuan aktingnya yang memukau dalam film “American Beauty” dan “The Kids Are Alright”. Tak sampai disitu, Oscars juga diketahui mengabaikan penampilan memukau dari para aktris non-english, seperti Penelope Cruz dalam “Parallel Mother”. Film “Selena” yang menunjukkan kemampuan karir Jennifer Lopez diabaikan tanpa adanya pengakuan apapun oleh Oscars, yang mana hal ini dianggap sebagai penghinaan besar. Di tahun 2023, Jamie Lee Curtis menerima penghargaan aktris pendukung terbaik melalui “Everything Everywhere All at Once”, tetapi banyak orang yang beranggapan bahwa Stephanie Hsu sebagai lawan mainnya atau Angela Bassett yang memainkan peran dalam “Black Panther: Wakanda Forever” justru lebih layak mendapatkan penghargaan tersebut. Sementara itu, di tahun 2025, Nicole Kidman dalam perannya di “Babygirl” dan Angelina Jolie pada “Maria” diketahui tidak menjadi bagian dari nominasi Best Actress. 

Sejak penyelenggaraannya di tahun 1929, ketimpangan gender masih menjadi kritikan terbesar yang ditujukan pada Oscars. Studi berjudul “Oscar Is A Man: Sexism and the Academy Awards” yang ditulis oleh Kenneth Grout dan Owen Eagan, menjelaskan bahwa pada proses seleksi penghargaannya, film dengan pemeran utama pria memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk memasuki nominasi film terbaik, yang mana hal ini akan menjadi peluang lanjutan untuk nominasi akting terbaik. Akan tetapi, hal ini berbanding terbalik dengan kesempatan yang dimiliki oleh para aktris. Snubs merupakan istilah populer yang melekat erat dengan Oscars. Istilah ini merujuk pada situasi ketika suatu film, seorang pemeran, atau kru yang dianggap layak mendapatkan nominasi penghargaan justru tidak mendapatkannya. 

Dilansir melalui World Economic Forum, fenomena ketimpangan gender di Oscars seolah memang tren dalam industri film. Dr. Stacy L. Smith mengungkapkan bahwa di tahun 2023, hanya terdapat 30 dari 100 film terlaris di dunia yang memiliki perempuan sebagai pemeran utama dan pemeran pendukung. Jumlah ini mengalami penurunan sebanyak 44 film jika dibandingkan dengan tahun 2022. Smith menjelaskan bahwa jumlah tersebut menggambarkan bagaimana peluang karir para perempuan di industri film. Hal ini menunjukkan secara pasti bahwa perempuan harus bekerja berkali-kali lipat lebih banyak dan keras dibandingkan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan pengakuan yang sama, sehingga mereka dapat memiliki akses menuju proyek-proyek besar.

Secara keseluruhan sejak 1929-2025, sebanyak 13.653 nomine Oscars 82,4% didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan hanya sebesar 17,6% dengan perbandingan 5 banding 1. Dari total keseluruhan pemenang Oscars, diketahui bahwa kurang dari 2% nominasi dimenangkan oleh women of color, yakni para perempuan minoritas. Selama 97 tahun terakhir, perempuan cenderung memperoleh 1 nominasi. Di tahun 2025, sebanyak 27% nominasi diisi oleh perempuan, sedangkan laki-laki sebanyak 73% dari total 208 nominasi. Persentase ini terhitung lebih rendah jika dibandingkan dengan rekor tahun 2021 yang 33% nominasinya diisi oleh perempuan. Akan tetapi, meski persentase nominasi perempuan di Oscars tergolong rendah, jumlah kehadiran perempuan terus meningkat.

Pada penyelenggaraannya yang ke-97 di Dolby Theatre di Los Angeles, 2 Maret 2025, Piala Oscars menuai berbagai respon dari publik. Sejumlah pihak dengan ceria memuji busana para selebriti, sementara yang lainnya secara terang-terangan mengutarakan kekecewaannya atas snubs yang kembali terjadi. Salah seorang pengguna X mengungkapkan kekecewaannya atas gagalnya Demi Moore dalam memenangkan nominasi Best Actress mengingat totalitas aktris tersebut dalam perannya di “The Substance”. Tak sedikit pula warganet yang menyayangkan gagalnya Angelina Jolie dalam meraih penghargaan sebab dilihat dari penampilannya yang luar biasa, aktris cantik tersebut berhasil membawakan karakter yang sangat kompleks, hingga meninggalkan kesan tersendiri bagi para penontonnya. Kemarahan lainnya turut datang dari para penggemar akibat diabaikannya film asal India “All We Imagine Cannes” yang menceritakan kisah hidup para perempuan di kota imigran, Mumbai.

Banyaknya ungkapan kecewa dari publik atas diskriminasi yang dilakukan Oscars pada aktris, director, dan kru film perempuan menjadi teguran dan bahan evaluasi yang harus segera diperbaiki. Adanya Piala Oscars haruslah menjadi ajang kesempatan bagi para talenta untuk saling berkompetisi dan berkembang bersama tanpa adanya diskriminasi gender. Penilaian nominasi Oscars akan memerlukan sejumlah revisi, yang mana mereka harus memperbanyak representasi para perempuan baik di depan maupun di belakang layar, melakukan transparansi dan memperluas diversitas mereka, sehingga perempuan dari berbagai latar belakang dapat memperoleh kesempatan dalam mengembangkan karirnya.

Oscars selalu menjadi panggung bagi mereka yang ingin meninggalkan jejak dalam sejarah sinema. Namun, di balik gemerlap perayaan, masih ada bayangan yang belum sepenuhnya sirna, yaitu kisah tentang mereka yang kerap terabaikan meski karyanya bersinar. Perlahan, perubahan mulai terasa, tetapi akarnya masih tertanam dalam. Setiap langkah maju adalah perlawanan terhadap tradisi lama, setiap kemenangan adalah bukti bahwa perjuangan belum selesai. Oscars akan kembali mencatat sejarah, tetapi yang lebih penting bukan hanya siapa yang membawa pulang trofi, melainkan apakah panggung ini akhirnya menjadi milik semua orang dengan tanpa batas, tanpa pengecualian, dan tanpa nama yang terus menerus luput dari pengakuan.

Referensi

AS USA. (2024, March 10). Meryl Streep’s Oscar count: How many nominations and wins does she have? Retrieved March 14, 2025, from https://en.as.com/entertainment/meryl-streeps-oscar-count-how-many-nominations-and-wins-does-she-have-n/

Blackwelder, C. (2025, February 28). All the women who have been nominated or won the Oscar for best directing. ABC News. Retrieved March 9, 2025, from https://abcnews.go.com/GMA/Culture/women-nominated-won-oscar-best-directing/story?id=118943429 

Cultura. (2025, January 24). Oscar 2025 Nominations: Snubs and Surprises. Cultura. Retrieved March 9, 2025, from https://www.cultura.id/oscar-2025-nominations-snubs-and-surprises 

Grout, K., & Eagan, O. (2020). Oscar Is a Man: Sexism and the Academy Awards. Tripodos, 85-102. 10.51698/tripodos.2020.48p85-102 

IMDb. (n.d.). 2024 movies released. IMDb. Retrieved March 15, 2025, from https://www.imdb.com/list/ls501426757/

InsertLive. (2025, January 3). 13 persen film terlaris di 2024 disutradarai perempuan, apa saja? https://www.insertlive.com/film-dan-musik/20250103192739-25-354841/13-persen-film-terlaris-di-2024-disutradarai-perempuan-apa-saja

Kulkarni, S. (2025). Oscar 2025 nominations: 5 Snubs that gave netizens a sleepless night – Denis Villeneuve for Best Director to Angelina Jolie for Best Actress.

Lauzen, M. M. (2024, January 1). The Celluloid Ceiling:. Center for the Study of Women in Television & Film. Retrieved March 9, 2025, from https://womenintvfilm.sdsu.edu/wp-content/uploads/2024/01/2023-Celluloid-Ceiling-Report.pdf 

Lifestyle Teknokrat. (n.d.). Sejarah Oscars, ternyata patungnya pernah dicuri. https://lifestyle.teknokrat.ac.id/berita/sejarah-oscars-ternyata-patungnya-pernah-dicuri/#:~:text=Awalnya%2C%20Oscar%20itu%20lahir%20dari,Arts%20and%20Sciences%20(AMPAS) 

Maynooth University. (n.d.). And the winner is: the Academy Awards’ problem with women. Maynooth University. Retrieved March 9, 2025, from https://www.maynoothuniversity.ie/research/spotlight-research/and-winner-academy-awards-problem-women 

Medcom. (2021). Partisipasi sutradara perempuan dalam produksi film pada 2021 turun. https://www.medcom.id/hiburan/montase/zNAXOB8K-partisipasi-sutradara-perempuan-dalam-produksi-film-pada-2021-turun 

Media Indonesia. (2020). Studi Ungkap Ketimpangan Gender di Piala Oscar.

Sonora. (2021). Jumlah sutradara film Hollywood perempuan di tahun 2021 menurun. https://www.sonora.id/read/423080569/jumlah-sutradara-film-hollywood-perempuan-di-tahun-2021-menurun 

National Portrait Gallery. (n.d.). Katharine Hepburn: Count ’em—Four Oscars. Smithsonian Institution. Retrieved March 14, 2025, from https://npg.si.edu/blog/katharine-hepburn-count-%E2%80%99em%E2%80%94four-oscars

Tatler Asia. (2025, March 5). Women firsts at the Oscars. Tatler Asia. Retrieved March 9, 2025, from https://www.tatlerasia.com/lifestyle/entertainment/women-winning-at-the-oscars 

The Telegraph India. (2025, March 3). Oscars 2025: Netizens react to major snubs, rave about stars’ fashion choices. https://www.telegraphindia.com/entertainment/oscars-2025-fan-reactions/cid/2086746 Whiting, K., & World Economic Forum. (2024, March 8). Oscars: Gender parity in the film industry under the spotlight. The World Economic Forum. Retrieved March 9, 2025, from https://www.weforum.org/stories/2024/03/oscars-film-industry-gender-parity/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More Articles & Posts